Sabtu, 03 Desember 2011

Filsafat Ilmu

BAB I
PENGERTIAN FILSAFAT ILMU
A.      Pengertian Epistemologi
Epistemologi adalah cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan dan lingkup pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dan dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki. Mula-mula manusia percaya bahwa dengan kekuatan pengenalannya ia mencapai realitas sebagaimana adanya. Meraka mengnadaikan begitu saja bahwa pengetahuan mengenai kodrat itu mungkin, meskipun beberapa diantara mereka menyarankan bahwa pengetahuan mengenai struktur kenyataan dapat lebih dimunculkan dari sumber-sumber tertentu. Misalnya, Herakleitus menekankan penggunaan indra, Permanides menekankan akal. Meskipun demikian, tak seorangpun diantara mereka yang meragukan kemungkinan adanya pengetahuan mengenai kenyataan (raelitas).
Pengetahuan yang diperoleh manusia melalui akal, indra dan lainya mempunyai metode tersendiri dalam teori pengetahuan diantaranya adalah:
1.    Metode Induktif : Suatu metode yang menyimpulkan pernyataan-pernyataan hasil observasi disimpulkan dalam suatu penyataan yang lebih umum.
2.    Metode Deduktif : Suatu metode yang menyimpulkan bahwa data-data empirik diolah lebih lanjut dalam suatu sistem yang runtut.
3.    Metode Positivisisme : Metode ini berpangkal dari apa yang telah diketahui , yang faktual, dan positif. Ia mengenyampingkan segala persoalan di luar yang ada sebagai fakta. Menurut Comte, perkembangan pemikiran manusia ada tiga yaitu, teologis, metafisis, dan positif. Pada tahap teologis, orang berkeyakinan bahwa dibalik segala sesuatu tersirat pernyaan kehendak khusus. Pada tahap metafisik, kekuatan adikodrati itu di ubah menjadi kekuatan abstrak, yang kemudian dipersatukan dalam pengertian yang bersifat umum yang disebut alam dan dipandangnya sebagai asal dari segala gejala. Pada tahap positif, usaha pengenalan yang mutlak, baik pengetahuan teologis ataupun metafisis dipandang tak berguna. Menurutnya, tidaklah berguna melacak asal dan tujuan hakikat yang sejati dari segala sesuatu. Yang penting adalah menemukan hukum-hukum kesamaan dan urutan yang terdapat pada fakta-fakta dengan pengamatan dan penggunaan akal.
4.    Metode Kontemplatif  : Metode ini mengatakan adanya keterbatasan indera dan akal manusia untuk mencapai pengetahuan, sehingga objek yang dihasilkan pun akan berbeda-beda harusnya dikembangkan suatu kemampuan akal yang disebut dengan intuisi. Pengetahuan yang di dapat melalui intuisi bisa diperoleh dengan cara berkomtemplasi seperti yang dilakukan oleh al-Ghazali. Intuisi dalam tasawuf disebut dengan ma’rifah . Al-Ghazali menerangkan bahwa pengetahuan intuisi atau ma’rifah yang disinarkan oleh Allah secara langsung merupakan pengetahuan yang paling benar. Pengetahuam yang diperoleh intuisi ini hanya bersifat individual.
5.    Metode Dialektis : metode ini disebut juga dengan metode tanya jawab yang diajarkan oleh Socrates. Tanya jawab yang dilakukan secara meningkat dan mendalam akan melahirkan pikiran yang kritis.
B.       Hakikat Ilmu
Ø Moh. Nazir, Ph.D(1983:9) mengemukakan bahwa ilmu tidak lain dari suatu pengetahuan, baik natura atau pun sosial, yang sudah terorganisir serta tersusun secara sistematik sesuai kaidah umum.
Ø Ahmad Tafsir (1992:5) memberikan batasan ilmu sebagai pengetahuan logis dan mempunyai bukti empiris.
Ø Sikun Pribadi (1972:1-2) mengemukakan, Objek ilmu pengetahuan adalah dunia fenomena, dan metode pendekatannya berdasarkan pengalaman (experience) dengan menggunakan berbagai cara seperti observasi, eksperimen, survey, studi kasus dan sebagainya. Pengalaman-pengalaman itu diolah oleh fikiran atas dasar  hukum logika yang tertib. data yang dikumpulkan diolah dengan cara analitis, induktif,  kemudian ditntukan relasi antara data-data, diantaranya relasi kausalitas.
Ø Lorens Bagus (1996:307-308) mengemukakan bahwa ilmu menandakan seluruh kesatuan ide yang mengacu ke objek (atau alam objek) yang sama dan saling keterkaitan secara logis.
Ø  
C.      Karakteristik Ilmu
Randall dan Buchler mengemukakan beberapa ciri umum ilmu, yaitu:
Ø  Hasil ilmu bersifat akumulatif dan merupakan milik bersama
Ø  Hasil ilmu kebenaannya tidak mutlak dan bisa terjadi kekeliruan
Ø  Objek tidak bergantung pada pemahaman pribadi.
Sementara itu, Ismaun (2001) mengetengahkan sifat atau ciri-ciri ilmu sebagai berikut:
  1. Obyektif: ilmu berdasarkan hal-hal yang obyektif, dapat diamati dan tidak berdasarkan pada emosional subyektif.
  2. Koheren: pernyataan/ susunan ilmu tidak kontradiktif dengan kenyataan
  3. Reliable: produk dan cara-cara memperoleh ilmu dilakukan melalui alat ukur dengan tingkat keterandalan (reabilitas) tinggi
  4. Valid: produk dan cara-cara ilmu dilakukan melalui alat ukur dengan tingkat keabsahan (validitas) yang tinggi.
  5. Memiliki generalisasi: suatu kesimpulan dalam ilmu dapat berlaku umum.
  6. Akurat: penarikan kesimpulam memiliki keakuratan yang tinggi.
  7. Dapat melakukan prediksi: ilmu dapat memberikan daya prediksi atas kemungkinan-kemungkinan suatu hal.

D.      Fungsi Filsafat Ilmu dalam Merealisasikan Masalah Pendidikan
Filsafat ilmu merupakan telaah kefilsafatan yang ingin menjawab pertanyaan mengenai hakikat ilmu. Dengan demikian, filsafat ilmu sangatlah penting peranannya bagi pengembangan ilmu pengetahuan.  Tentu saja, filsafat ilmu sangat bermanfaat bagi manusia untuk menjalani berbagai aspek kehidupan.
Objek dalam filsafat Ilmu Pendidikan dapat dibedakan dalam 4 (empat) macam, yaitu:
·      Ontology Ilmu Pendidikan, yang membahas tentang hakikat substansi dan pola organisasi pendidikan.
·      Epistemologi Ilmu Pendidikan, yang membahas tentang hakikat objek formal dan material ilmu pendidikan.
·      Metodologi Ilmu Pendidikan, yang membahas tentang hakikat cara-cara kerja dalam menyusun ilmu pengetahuan
·      Aksiologi Ilmu Pendidikan, yang membahas tentng hakikat nilai kegunaan teoritis dan praktis ilmu pendidikan.

BAB II
SEJARAH PERKEMBANGAN FILSAFAT ILMU
A. Sejarah Perkembangan Filsafat Ilmu
            Sampai saat ini, kita belum dapat mengetahui kapan sebenarnya filsafat mulai muncul. Pada 60.000 tahun yang lalu atau abad ke-600 SM, ditemukan daerah-daerah suber filsafat yang hingga saat ini telah diketahui manusia. Pikiran-pikiran sebelumnya disebut sebagai masa pra-filsafat atau pra-nalar. Prakiraan para ahli mengenai hal tersebut bahwa pada 600 SM itu telah terjadi perubahan besar dalam perkembangan pemikiran dan budaya manusia.
Perubahan tersebut lebih diyakini menyangkut adanya penulisan, budaya tulis menulis dengan berbagai bentuk jenisnya. Setelah 600-an SM, mulai muncul tradisi penulisan buah pikiran tertentu. Di bawah ini akan dijelaskan beberapa sejarah perkembangan filsafat ilmu, yaitu:
a. Perkembangan Ilmu Pada Zaman Yunani
            Periode filsafat yunani merupakan periode sangat penting dalam sejarah peradaban manusia karena pada waktu ini terjadi perubahan pola pikir manusia dari mitosentris menjadi logosentris. Pola pikir mitosentris adalah pola pikir masyarakat yang sangat mengandalkan mitos untuk menjelaskan fenomena alam, seperti gempa bumi dan pelangi.
Pada zaman yunani kuno terdapat tiga periode masa sejarah filsafat, yaitu :
1. Masa awal
            Masa awal filsafat yunani kuno ditandai oleh tercatatnya tiga nama filsuf yang berasal dari daerah Miletos, yaitu Thales, Anaximandros, dan Anaximenes.
Filosof alam pertama yang mengkaji tentang asal usul alam adalah Thales (624-546 SM). Ia digelari bapak filsafat karena dialah orang yang mula-mula berfilsafat dan mempertanyakan, “Apa sebenarnya asal usul alam semesta ini?” Pertanyaan ini sangat mendasar, terlepas apapun jawabannya. Namun ang terpenting adalah pertanyaan itu dijawabnya dengan pendekatan rasional, bukan dengan pendekatan mitos atau kepercayaan. Ia mengatakan asal usul alam adalah air karena air unsur penting bagi setiap makhlik hidup, air dapat berubah menjadi benda gas, seperti uap dan benda padat, seperti es, dan bumi ini juga berda di atas air.
            Setelah Thales, muncul Anaximandros (610-540 SM) Anaximadros mencoba menjelaskan bahwa subtanbsi pertama itu bersifat kekal, tidak terbatas, dan meliputi segalanya. Dia tidak setuju unsur utama alam adalah salah satu dari unsure-unsur yang ada seperti air dan tanah. Unsur utama alam harus yang mencakup segalanya dan di atas segalanya, yang dinamakan apeiron. Ia adalah air, maka air harus meliputi segalanya termasuk api yang merupakan lawannya. Padahal tidak mungkin air menyingkirkan anasir api. Karena itu Anaximandros tidak puas dengan menunjukkan salah satu anasir sebagai prinsip alam, tetapi dia mencari yang lebih dalam yaitu zat yang tidak dapat diamati oleh panca indera.
2. Masa Keemasan
            Salah satu tokoh pada masa keemasan adalah Socrates, Ia berpendapat bahwa ajaran dan kehidupan adalah satu dan tak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, dasar dari segala penelitian dan pembahasan adalah pengujian diri sendiri Bagi Socrates, pengetahuan yang sangat berharga adalah pengetahuan tentang diri sendiri. Semboyan yang paling digemarinya adalah apa yang tertera pada Kuil Delphi, yaitu: “Kenalilah dirimu sendiri”.
            Puncak kejayaan filsafat yunani terjadi pada masa Aristoteles. Ia adalah murid Plato. Aristoteles yang pertama kali membagi filsafat pada hal yang teoritis dan praktis. Yang teoritis mencakup logika, metafisika, dan fisika, dan yang praktis mencakup etika, ekonomi dan politik. Pembagian ilmu inilah yang menjadi pedoman juga bagi klasifikasi ilmu dikemudian hari. Aristotelas juga dianggap Bapak Ilmu karena dia mam pu meletakan dasar-dasar dan metode ilmiah secara sistematis.
3. Masa Helenitas dan Romawi
            Adalah suatu masa yang tidak dapat dilepaskan dari peranan raja Alexander Agung. Raja ini telah mampu mendirikan Negara besar yang tidak sekadar meliputi seluruh Yunani, tetapi di daerah-daerah sebelah Timurnya. Kebudayaan Yunani menjadi kebudayaan Supranasional. Kebudayaan Yunani ini disebut Kebudayaan Helenitas. Dalam bidang kebudayaan, selain akdemia lykeion dibuka juga sekolah-sekolah baru yang menjadi tekanan pembelajarannya adalah masalah etika, yaitu bagaimana sebaiknya orang mengatur tingah lakunya agar dapat bahagia dalam kehidupan bersama. Setelah Masa Helenitas atau tepatnya pada ujung zaman Helenisme yaitu pada ujung sebelum Masehi menjelang Neo Platonisme, filsafat benar-benar mengalami kemunduran.
b. Perkembangan Filsafat Ilmu Zaman Islam
1. Penyampaian ilmu dan filsafat yunani ke dunia Islam
            Dalam perjalanan ilmu dan juga filsafat di dunia islam, pada dasarnya terdapat upaya rekonsiliasi, dalam arti mendekatkan dan mempertemukan dua pandangan yang berbeda, bahkan sering kali ekstrim antara pandangan filsafat Yunani seperti fisafat Plato dan Aristoteles, dengan pandangan keagamaan dalam islam yang sering kali menimbulkan benturan-benturan. Sebagai contoh konkret dapat disebutkan bahwa Plato dan Aristoteles telah memberikan pengaruh yang besar pada madzhab-madzhab Islam, khususnya madzhab alektisisme.
            Al-Farabi dalam hal ini memiliki sikap yang jelas karena ia percaya pada kesatuan filasafat dan bahwa tokoh-tokoh filsafat harus bersepakat diantara mereka sepanjang yang menjadi tujuan mereka adalah kebenaran. Bahkan bisa dikatakan para filosof muslim mulai dari Al-Kindi sampai Ibn Rusyd terlibat dalam upaya rekonsiliasi tersebut, dengan cara mengemukakan pandangan-pandangan yang relative baru dan menarik. Usaha-usaha mereka pada gilirannya menjadi alat dalam penyebaran filsafat dan penetrasinya kedalam studi-studi keIslaman lainnya, dan tidak diragukan lagi upaya rekonsiliasi oleh para filosof muslim ini menghasilkan afinitas dan ikatan yang kuat antara filsafat arab dan filsafat Yunani.
 2. Perkembangan ilmu pada masa Islam klasik
            Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa pentingnya ilmu pengetahuan sangat ditekankan oleh Islam sejak awal, mulai Masa Nabi sampai dengan Khulafaur Rasyidin, pertumbuhan dan perkembangan ilmu berjalan dengan cepat sesuai tantangan zaman. Tahab penting berikutnya dalam proses perkembangan dan tradisi keilmuan Islam ialah masuknya unsur-unsur dari luar ke dalam islam, khususnya unsur-unsur Budaya Perso Semitik dan budaya Helenisme, yang disebut belakangan mempunyai mempunyai pengaruh besar terhadap pemikiran Islam.
            Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik sebuah hipotesis sementara bahwa pada awal Islam pengaruh Hellenisme dan juga filsafat Yunani terhadap tradisi keilmuan Islam sudah sedemikian kental, sehingga pada saat selanjutnya pengaruh itupun terus mewarnai perkembangan ilmu pada masa-masa berikutnya.
3. Perkembangan filsafat ilmu pada masa kejayaan islam
            Pada masa kejayaan kekuasaan islam, khususnya pada masa pemerintahan Dinasti Umayyah dan Dinasti Abbasiyah. Ilmu berkembang sangat maju dan pesat. Kemajuan ini membawa islam pad masa keemasannya, dimana pada saat yang sama wilayah-wilayah yang jauh diluar kekuasaan Islam masih berada pada masa kegelapan peradaban. Dalam sejarah Islam kita mengenal nama-nama seperti Al-Mansur, Al-Ma’mun, dn Harun Al-Rasyid yang memberikan perhatian amat besar bagi perkembangan ilmu di dunia Islam.
4. Masa Keruntuhan ilmu dalam islam
            Abad ke-18 dalam sejarah islam adalah abad yang paling menyedihkan bagi umat islam dan memperoleh catatan buruk bagi peradaban islam secara universal. Seperti yang diungkapkan oleh Lothrop Stoddard bahwa menjelang abad ke-18, dunia islam tlah merosot ke tingkat yang terendah. Pernyataan Stoddard di atas menggambarkan begitu dahsyatnya proses kejatuhan peradaban dan tradisi keilmuan islam yang kemudian menjadikan umat Islam sebagai bangsa yang dijajah oleh bangsa-bangsa Barat.

c. Kemajuan Ilmu Zaman Renaisans dan Modern
1. Masa renaisans
            Renaisans merupakan era sejarah yang penuh dengan kemajuan dan perubahan yang mengandung arti bagi perkembangan ilmu. Zaman yang menyaksikan dilancarkannya tantangan gerakan reformasi terhadap keesaan dan supremasi gereja katolik Roma, bersamaan dengan berkembangnya Humanisme. Pada zaman ini manusia Barat mulai berpikir secara baru, dan scara berangsur-angsur melepaskan diri dari otoritas kekuasaan gereja yang selama ini telah membelenggu kebebasan dalam mengemukakan kebenaran filsafat dan Ilmu. Pemikir yang dapat dikemukakan pada tulisan ini antara lain Nicholas Copernicus dan Francis Bacon.
            Copernicus adalah seorang tokoh gereja ortodoks, ia menemukan bahwa matahari berada pada pusat jagad raya, dan bumi memiliki dua macam gerak yaitu perputaran sehari-hari pada porosnya dan gerak tahunan mengelilingi matahari. Teorinya ini disebut Heliosentrisme, dimana matahari adalah pusat jagad raya.Sedangkan teori yang mempertahankan bumi sebagai pusat jagad raya disebut Geosentrisme.
2. Zaman modern
            Tokoh dalam zaman modern ini adalah Isaac Newton (1643-1727). Newton, sekalipun ia menjadi pimpinan sebuah tempat pembuatan uang logam di kerajaan Inggris, Ia tetap menekuni dalam bidang Ilmu. Lahirnya teori gravitasi, perhitungan calculus dan optika merupakan karya besar Newton. Teori gravitasi Newton dimulai ketika muncul persangkaan penyebab planet tidak mengikuti pergerakan lintas lurus, apakah matahari yang menarik bumi dan matahari ada gaya saling tarik menarik. 
3. Ilmu yang berbasis Rasionalisme dan Empirisisme
            Berkat pengamatan yang sistematis dan kritis, kaum rasionalis mengembangkan paham Rasionalisme. Dalam menyusun pengetahuan, kaum rasionalis menggunakan penalaran deduktif. Penalaran deduktif adalah cara berpikir yang bertolak dari pernyataan yang bersifat khusus. Penalaran kesimpulan secara deduktif ini menggunakan pola berpikir yang disebut Sillogisme. Sillogisme itu terdiri atas dua pertanyaan dan sebuah kesimpulan. Kedua pertanyaan disebut Premis Mayor atau Premis Minor. Kesimpulan diperoleh dari penalaran deduktif dari kedua premis itu.
4. Perkembangan filsafat pada zaman modern
            Pada zaman modern filsafat dari berbagai aliran muncul. Pada dasarnya corak keseluruhan filsafat modern itu mengambil warna pemikiran filsafat sufisme Yunani, sedikit pengecualian pada Kant. Paham-paham yang muncul dalam garis besarnya adalah Rasionalisme, Idealisme, dan Empirisme. Dan paham-paham yang merupakan pecahan aliran itu. Paham Rasionalisme mengajarkan bahwa akal itulah alat terpenting dalam memperoleh dan menguji pengetahuan. Ada tiga tokoh penting pendukung Rasionalisme ini yaitu: Descartes, Spinoza, dan Leibniz.
d. Kemajuan Ilmu Zaman Kontemporer
            Yang dimaksud dengan zaman kontemporer dalam konteks ini adalah era tahun-tahun terakhir yang kita jalani hingga saat sekarang ini. Hal yang membedakan pengamatan tentang ilmu di zaman modern dengan ilmu di zaman kontempporer bahwa zaman modern adalah era perkembangan ilmu yang berawal sejak sekitar abad ke-15, sedangkan zaman kontemporer memfokuskan sorotannya pada berbagai perkembangan terakhir yang terjadi hingga saat sekarang.

BAB III
DASAR-DASAR PENGETAHUAN DAN KRITERIA KEBENARAN ILMU
A.    Pengertian Pengetahuan
Secara etimologi pengetahuan berasal dari kata dalam bahasa inggris yaitu knowledge. Dalam Encyclopedia of Phisolophy dijelaskan bahwa definisi pengetahuan adalah kepercayaan yang benar.
Sedangkan secara terminology, menurut Drs. Sidi Gazalba, pengetahuan adalah apa yang diketahui atau hasil pekerjaan tahu. Pekerjaan tahu tersebut adalah hasil dari kenal, sadar, insaf, mengerti, dan pandai. Pengetahuan itu adalah semua milik atau isi pikiran. Dengan demikian pengetahuan merupakan hasil proses dari usaha manusia untuk tahu.
B.     Jenis-jenis Pengetahuan
Burhanuddin Salam mengemukakan bahwa pengetahuan  yang dimiliki manusia ada empat, yaitu:
1. Pengetahuan biasa
Yaitu pengetahuan yang dalam filsafat disebut dengan istilah common sense. Dengan common sense semua orang sampai dengan keyakinan secara umum tentang sesuatu, dimana mereka akan berpendapat sama semuanya.
2. Pengetahuan ilmu
Yaitu ilmu sebagai terjemahan dari science. yaitu suatu pengetahuan yang berasal dari pengalaman dan pengamatan dalam kehidupan sehari-hari. Namun, dilanjutkan dengan suatu pemikiran secara cermat dan teliti dengan menggunakan berbagai metode.
3. Pengetahuan filsafat
Yaitu pengetahuan yang diperoleh dari pemikiran yang bersifat kontemplatif dan spekulatif.
4. Pengetahuan agama
Yaitu pengetahuan yang diperoleh dari Tuhan oleh para utusan-Nya. Pengetahuan agama bersifat mutlak dan wajib diyakini oleh pemeluk agama.
C.    Dasar-dasar Pengetahuan
1. Penalaran
Penalaran merupakan suatu proses berpikir dalam menarik sesuatu kesimpulan yang berupa pengetahuan. Manusia pada hakikatnya merupakan makhluk yang berpikir, merasa, bersikap, dan bertindak. Sikap dan tindakannya yang bersumber pada pengetahuan yang didapatkan lewat kegiatan merasa atau berpikir. Penalaran menghasilkan pengetahuan yang dikaitkan dengan kegiatan berpikir dan bukan dengan perasaan., meskipun seperti dikatakan Pascal, hati pun mempunyai logika tersendiri. Jadi penalaran merupakan kegiatan berpikir yang mempunyai karakteristik tertentu dalam menemukan kebenaran.
2. Logika
Penalaran merupakan suatu proses berpikir yang membuahkan pengetahuan. Agar pengetahuan yang dihasilkan penalaran itu mempunyai dasar kebenaran maka proses berpikir itu harus dilakukan suatu cara tertentu. Suatu penarikan kesimpulan baru dianggap shahih (valid) kalau proses penarikan kesimpulan menurut cara tertentu. Cara penarikan kesimpulan ini disebut dengan logika, dimana logika secara luas dapat didefinisikan  sebagai “pengkajian untuk berpikir secara sahih”.
Dalam penarikan kesimpulan terdapat berbagai macam cara namun untuk sesuai dengan tujuan studi yang memusatkan diri kepada penalaran ilmiah, kita akan melakukan penelaahan yang seksama hanya terhadap dua jenis cara penarikan kesimpulan,yakni logika deduktif dan logika induktif.
Sumber Pengetahuan
Pada dasarnya terdapat dua cara pokok bagi manusia untuk mendapatkan pengetahuan yang benar:
·           Mendasarkan diri kepada rasio
·           Mendasarkan diri kepada pengalaman
Kaum rasionalis mempergunakan metode deduktif dalam menyusun pengetahuannya. Premis yang dipakai dalam penalarannya didapatkan dari ide yang menurut anggapannya jelas dan dapat diterima. Ide ini menurut mereka bukanlah ciptaan pikiran manusia. Prinsip itu sendiri sudah ada jauh sebelum manusia memikirkannya. Paham dikenal dengan nama idealisme. Fungsi pikiran manusia hanyalah mengenali prinsip tersebut lalu menjadi pengetahuannya. Prinsip itu sudah ada dan bersifat apriori serta dapat diketahui oleh manusia lewat kemampuan berpikir rasionalnya.
Kaum empiris berpendapat bahwa pengetahuan manusia itu bukan didapatkan lewat penalaran rasional yang abstrak namun lewat pengalaman yang kongkret. Gejala-gejala alamiah menurut anggapan kaum empiris adalah bersifat kongkret dan dapat dinyatakan lewat tangkapan panca indra manusia. Kaum empiris menganggap bahwa dunia fisik adalah nyata karena merupakan gejala yang tertangkap oleh panca indra. Disamping rasionalisme dan empirisme masih terdapat cara untuk mendapatkan pengetahuan yang lain. Yang penting untuk kita ketahui adalah intuisi dan wahyu.
D.    Cara Memperoleh Pengetahuan
         Cara mendapatkan pengetahuan yang benara atau disebut dengan epistemology, yaitu dengan:
1.      Jarum sejarah pengetahuan
         Dengan berkembangnya abad penalaran maka konsep dasar berubah dari kesamaan kepada pembedan. Mulailah terdapat perbedaan yang jelas antara berbagai pengetahuan, yang mengakibatkan timbulnya spesialisasi pekerjaan dan konsekuensinya mengubah struktur ke masyarakatn. pohon pengetahuan mulai dibeda-bedakan paling tidak berdasarkan apa yang diketahui, bagaimana cara mengetahui dan untuk apa pengetahuan itu dipergunakan.
         Salah satu cabang pengetahuan itu yang berkembang menurut jalannya sendiri adalah ilmu yang berbeda dengan pengetahuan-pengetahuan lainnya terutama dalam segi metodenya. Metode keilmuan adalah jelas sangat berbeda dengan ngelmu yang merupakan pradigma dari abad pertengahan. demikian juga ilmu dapat dibedakan dari apa yang ditelahnya serta untuk apa ilmu itu digunakan.
2.      Pengetahuan
         Pengetahuan pada hakikatnya merupakan segenap apa yang kita ketahui ternatang suatu objek tertentu, termasuk kedalamnya adalah ilmu, jadi ilmu merupakan bagian dari pengetahuan yang diketahui oleh manusia, disamping berbagai pengetahuan lainnya seperti seni dan agama. Metode ilmiah adalah cara yang dilakukan ilmu dalam menyusun pengetahuan.
3.      Metode ilmiah
         Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Jadi ilmu merupakan pengetahuan yang didapatkan lewat metode ilmiah. Tidak semua pengetahuan disebut ilmu sebab ilmu merupakan pengetahuan yang cara mendapatkannya harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Metodelogi merupakan suatu pengkajian dalam mempelajari peraturan-peraturan dalam metode tersebut, jadi metode ilmiah merupakan pengkajian dari peraturan-peraturan yang terdapat dalam metode ilmiah. metode ini secara filsafati termasuk dalam epistemology.
         Secara rasional maka ilmu menyusun pengetahuan secara konsisten dan kumulatif, sedangkan secara empiris ilmu memisahkan antara pengetahuan yang sesuai dengan fakta dengan yang tidak. Rasionalisme ialah paham yang mengatakan bahwa akal itulah alat pencari dan pengukur pengetahuan. pengetahuan dicari dengan akal, temuannya diukur engan akal pula. Dicari dengan akal ialah dicari cengan berfikir logis. Diukur dengan akal artinya diuji apakah temuan itu logis atau tidak. Bila logis, benar, bila tidak, salah. Dengan akal itulah aturan untuk mengatur manusia dengan alam itu dibuat. Ini juga berarti bahwa kebenaran itu bersumber pada akal.
         Suatu pengetahuan dapat dikatakan sebagai ilmu apabila dapat memenuhi persyaratan-persyaratan, sebagai berikut:
·         Ilmu mensyaratkan adanya obyek yang diteliti, baik yang berhubungan dengan alam maupun tentang manusia.
·         Ilmu mensyaratkan adanya metode tertentu, yang di dalamnya berisi pendekatan dan teknik tertentu. Metode ini dikenal dengan istilah metode ilmiah. metode ilmiah boleh dikatakan merupakan suatu pengejaran terhadap kebenaran yang diatur oleh pertimbangan-pertimbangan logis. Karena ideal dari ilmu adalah untuk memperoleh interrelasi yang sistematis dari fakta-fakta, maka metode ilimiah berkehendak untuk mencari jawaban tentang fakta-fakta dengan menggunakan pendekatan
·         Ilmu mensyaratkan adanya pokok permasalahan yang akan dikaji.

4.      Struktur Pengetahuan Ilmiah
Pengetahuan yang diproses menurut metode ilmiah merupakan pengetahuan yang memenuhi syarat-syarat keilmuan, dan dengan demikian dapat disebut dengan pengetahuan ilmiah atau ilmu. Ilmu pada dasarnya merupakan kumpulan pengetahuan yang bersifat menjelaskan berbagai gejala alam yang memungkinkan manusia melakukan serangkaian tindakan untuk menguasai gejala tersebut berdasarkan penjelasan yang ada. Sistematika dalam metode ilmiah sesungguhnya merupakan manifestasi dari alur berpikir yang dipergunakan untuk menganalisis suatu permasalahan. Alur berpikir yang dipergunakan untuk menganalisis suatu permasalahan. Alur berpikir dalam metode ilmiah memberi pedoman kepada para ilmuan dalam memecahkan persoalan menurut integritas berpikir deduksi dan induksi.

BAB IV
ONTOLOGI
A.      Pengertian Ontologi
Kata ontology berasal dari perkataan Yunani: on= being dan logos= logic. Jadi ontology adalah the theory of being qua being (teori tentang keberadaan sebagai keberadaan). Louis O. Kattsoff dalam Elements of filosophy mengatakan, ontology itu mencari ultimate really dan menceritakan bahwa diantara contoh pemikiran ontoogi adalah pemikiran Thales, yang berpendapat bahwa airlah yang menjadi ultimate subtance yang mengeluarkan semua benda. Jadi asal semua benda hanya satu saja yaitu air.

B.       Tokoh Ontologi
Tokoh yang membuat istilah ontologi populer adalah Christian Wolf (1679-1714). Istilah ontologi berasal dari bahasa yunani yaitu: ta onta yang bearti “yang berada”, dan logi berarti “ilmu pengetahuan; ajaran”. Dengan demikian ontologi adalah ilmu pengetahuan atau ajaran tentang yang berada.

C.           Pokok-pokok Pemikiran dalam Ontologi
          Di dalam pemahaman Ontologi dapat dikemukakan pandangan-pandangan pokok pemikiran, diantaranya:
1.    Monoisme
Paham ini menganggap bahwa hakekat yang asal dari seluruh kenyataan itu hanyalah satu saja, tidak mungkin dua. Haruslah satu hakikat saja sebagai sumber yang asal, baik yang asal berupa materi maupun rohani. Istilah Monoisme ditemukan oleh Thomas Davidson atau disebut dengan Blok Universe. Paham ini kemudian terbagi menjadi dua bagian, yaitu materilisme dan idealism.
2.    Dualisme
Yaitu merupakan pandangan yang menyatakan bahwa hakikat itu ada dua. Aliran ini berpendapat bahwa benda terdiri dari dua macam hakikat sebagai asal sumbernya, yaitu hakikat materi dan hakikat rohani, benda dan ruh, jasad dan spirit. Tokoh paham ini adalah Descartes (1596-1650 M)
3.    Pluralisme
Paham ini berpandangan bahwa segenap macam bentuk merupakan kenyataan. Pluralism bertolak dari keseluruhan dan mengakui bahwa segenap macam bentuk itu semuanya nyata. Pluralisme dalam Dictionary of Philosophy and Religion dikatakan sebagai paham yang menyatakan bahwa kenyataa alam ini tersusun dari banyak unsur, lebih dari satu atau dua entitas. Tokoh aliran ini pada masa Yunani Kuno adalah Anaxagoras dan Empedocles yang menyatakan bahwa substansi yang ada itu terbentuk dan terdiri dari 4 unsur, yaitu tanah, air, apa dan udara. Sedangkan tokoh modernaliran ini adalah William James (1842-1910 M) kelahiran New York dan terkenal sebagai psikolog dan filosof Amerika.
4.    Nihilisme
Nihilisme berasal dari Bahasa Latin yang berarti Nothing atau tidak ada. Sebuah doktrin yang tidak mengakui validitas aternatif yang positif istilah nihilisme diperkenalkan oleh Ivan Turgeniev.
5.    Agnostisisme
Paham ini mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat benda. Baik hakiakt materi maupun hakikat ruhani. Kata Agnosticisme berasal dari Grick Agnostos yang berarti Unknown. A artinya not, Gno artinya know. Timbulnya aliran ini dikarenakan belum dapatnya orang mengenal dan mampu menerangkan secara kongkret akan adanya kenyataan yang berdiri sendiri dan dapat kita kenal. Aliran ini dengan tegas selalu menyangkal adanya suatu kenyataan mutlak yang bersifat tracendent.

D.           Batas-batas Penjelajahan Ilmu
Ilmu membatasi lingkup penjelajahannya pada batas pengalaman manusia juga disebabkan metode yang dipergunakan dalam menyusun yang telah teruji kebenarannya secara empiris. Sekiranya ilmu memasukkan daerah di luar bagian pengalaman empirisnya, bagaimanakah kita melakukan pembuktian secara metodologis? Bukankah hal ini merupakan hal yang kontradiksi yang menghilangkan kesahihan metode ilmiah? Mengenal batas-batas kapling kita ini, disamping menunjukkan kematangan keilmuan dan profesi kita, juga dimaksudkan agar kita mengenal tetangga-tetangga kita. Dengan makin sempitnya daerah penjelajahan suatu bidang keilmuan maka sering sekali diperlukan “pandangan” dari disiplin-displin lain. Saling pandang-memandang ini, atau dalam bahasa protokolnya pendekatan multi-disipliner, membutuhkan pengetahuan tentang tetangga-tetangga yang berdekatan. Artinya harus jelas bagi semua: dimana dispilin seseorang berhenti dan dimana disiplin orang lain mulai. Tanpa kejelasan batas-batas ini pendekatan multi-disipliner tidak akan bersifat konstruktif melainkan berubah menjadi sanketa kapling (yang sering terjadi akhir-akhir ini).



E.            Cabang-cabang Ilmu
Pada dasarnya cabang-cabang ilmu tersebut berkembang dari dua cabang utama yakni Filsafat alam yang kemudian menjadi rumpun ilmu-ilmu alam (the I cabang ilmu social (the social scinence). Ilmu-ilmu alam membagi diri kepada dua kelompok yakni ilmu alam dan ilmu hayat. Sedangkan ilmu-ilmu social berkembang agak lambat dibandingkan ilmu-ilmu alam. Pada pokoknya terdapat cabang utama ilmu-ilmu social yakni antroppologi, psikologi, ekonomi, sosiologi dan ilmu polotik.

F.            Fungsi Mempelajari Ontologi
Fungsi atau manfaat mempelajari ontology antara lain: pertama, berfungsi sebagai refleksi kritis atas objek atau bidang garapan, konsep-konsep, asumsi-asumsi, dan postulat-postulat ilmu. Kedua, dunia empiris itu dapat diketahui oleh manusia dengan panca indera. Ketiga, Ontologi dapat membantu kita untuk merefleksikan eksistensi suatu disiplin keilmuan tertentu.

BAB V
EPISTIMOLOGI
A.      Pengertian Epistimologi
          Epistimologi atau teori pengetahuan ialah cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dan dasar-dasarnya serta pertanggungjawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki. Pengetahuan yang diperoleh oleh manusia melalui akal, indra, dan lain lain mempunyai metode tersendiri dalam teori pengetahuan, di antaranya adalah :

1.    Metode Induktif
Induksi yaitu suatu metode yang menyimpulkan pernyataan – pernyataan hasil observasi disimpulkan dalam suatu pernyataan yang lebih umum. David Hume (1711-1716), telah membangkitkan pertanyaan mengenai induksi yang membingungkan para filosof dari zamannya sampai sekarang. Menurut Hume, parnyataan yang berdasarkan observasi tunggal betapapun besar jumlahnya, secara logis tak dapat menghasilkan suatu pernyataan umum yang tak terbatas. Dalam induksi, setelah diperoleh pengetahuan, maka akan dipergunakan hal – hal lain, seperti ilmu mengajarkan kita bahwa kalau logam dipanasi, ia mengembang, bertolak dari teori ini kita akan tahu bahwa logam lain yang kalau dipanasi juga akan mengembang.
2.    Metode Deduktif
Deduksi ialah suatu metode yang menyimpulkan bahwa data – data empirik diolah lebih lanjut dalam suatu sistem pernyataan yang runtut. Hal-hal yang harus ada dalam metode deduktif ialah adanya perbandingan logis antara kesimpulan-kesimpulan itu sendiri. Popper tidak pernah menganggap bahwa kita dapat membuktikan kebenaran-kebenaran teori dari kebenaran pernyataan-pernyataan yang bersifat tunggal.
3.    Metode Positivisme
Metode ini dikeluarkan oleh August Comte (1798-1857). metode ini berpangkal dari apa yang telah diketahui, yang faktual, yang positif. Ia mengenyampingkan segala uraian/ persoalan di luar yang ada sebagai fakta. Oleh karena itu, ia menolak metafisika. Apa yang diketahui secara positif, adalah segala yang tampak dan segala gejala. Dengan demikian metode ini dalam bidang filsafat dan ilmu pengetahuan dibatasi kepada bidang gejala-gejala saja.
            Menurut Comte, perkembagan pemikiran manusia berlangsung dalam tiga tahap : teologis, metafisis, dan positif. Pada tahap teologis, orang berkeyakinan bahwa dibalik segala sesuatu tersirat pernyataan kehendak khusus
            Pada tahap metafisis, kekuatan adikodrati itu diubah menjadi kekuatan yang abstrak, yang kemudian dipersatukan dalam pengertian yang bersifat umum yang disebut alam dan dipandangnya sebagai asal dari segala gejala.
            Pada tahap ini, usaha mencapai pengenalan yang mutlak, baik pengetahuan teologis ataupun metafisis dipandang tak berguna, menurutnya, tidaklah berguna melacak asal dan tujuan akhir seluruh alam; melacak hakikat yang sejati dari segala sesuatu. Yang penting adalah menemukan hukum-hukum kesamaan dan urutan yang terdapat pada fakta-fakta dengan pengamatan dan penggunaan akal.
4.    Metode Kontemplatif
          Metode ini mengatakan adanya keterbatasan indra dan akal manusia untuk memperoleh pengetahuan, sehingga objek yang dihasilkan pun akan berbeda -beda harusnya dikembangkan suatu kemampuan akal yang disebut dengan intuisi.
5.    Metode Dialektis
Dalam filsafat, dialektika mula-mula berarti metode tanya jawab untuk mencapai kejernihan filsafat. Metode ini diajarkan oleh Socrates. Namun Plato mengartikannya diskusi logika. Kini dialektika berarti tahap logika, yang mengajarkan kaidah-kaidah dan metode-metode penuturan, juga analisis sistematik tentang ide-ide untuk mencapai apa yang terkandung dalam pandangan.

B.  Pengetahuan
Ilmu mempelajari alam sebagaimana adanya dan terbatas pada lingkup pengalaman kita. Pengetahuan dikumpulkan oleh ilmu dengan tujuan untuk menjawab permasalahan kehidupan yang sehari-hari dihadapi manusia, dan untuk digunakan dalam menawarkan berbagai kemudahan kepadanya. Pengetahuan ilmiah, alias ilmu, dapat diibaratkan sebagai alat bagi manusia dalam memecahkan berbagai persoalan yang dihadapinya. Pemecahan tersebut pada dasarnya adalah dengan meramalkan dan mengontrol gejala alam. Oleh sebab itu, sering dikatakan bahwa dengan ilmu manusia mencoba memanipulasi dan menguasai alam.
Berdasarkan landasan ontologi dan aksiologi seperti itu maka bagaimana sebaiknya kita mengembangkan landasan epistimologi yang cocok? Persoalan utama yang dihadapi oleh tiap epistimologi pengetahuan pada dasarnya adalah bagaimana mendapatkan pengetahuan yang benar dengan memperhitungkan aspek ontologi dan aksiologi masing-masing. Demikian juga halnya dengan masalah yang dihadapi epistimologi keilmuan yakni bagaimana menyusun pengetahuan yang benar untuk menjawab permasalahan mengenai dunia empiris yang akan digunakan sebagai alat untuk meramalkan dan mengontrol gejala alam.

C.  Metode Ilmiah
Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Jadi ilmu merupakan pengetahuan yang didapatkan lewat metode ilmiah. Metode, menurut Senn, merupakan suatu prosedur atau cara mengetahui sesuatu, yang mempunyai langkah-langkah sistematis. Metodologi merupakan suatu pengkajian dalam mempelajari peraturan-peraturan dalam metode tersebut. Jadi metodologi ilmiah merupakan pengkajian dari peraturan-peraturan yang terdapat dalam metode ilmiah. Metodologi ini secara filsafati termasuk dalam apa yang dinamakan epistimologi. Epistimologi merupakan pembahasan mengenai bagaimana kita mendapatkan pengetahuan: Apakah sumber-sumber pengetahuan? Apakah hakikat, jangkauan dan ruang lingkup pengetahuan? Apakah manusia dimungkinkan untuk mendapatkan pengetahuan? Sampai tahap mana pengetahuan yang mungkin untuk ditangkap manusia.
Alur berpikir yang tercakup dalam metode ilmiah dapat dijabarkan dalam beberapa langkah yang mencerminkan tahap-tahap dalam kegiatan ilmiah. Kerangka berpikir ilmiah yang berintikan proses logica-hypothetico-verifikasi ini pada dasarnya terdiri dari langkah-langkah sebagai berikut:
1.             Perumusan masalah yang merupakan pertanyaan mengenai obyek empiris yang jelas batas-batasnya serta dapat diidentifikasikan faktor-faktor yang terkait di dalamnya;
2.             Penyusunan kerangka berpikir dalam pengajuan hipotesis yang merupakan argumentasi yang menjelaskan hubungan yang mungkin terdapat antara berbagai faktor yang saling terkait.
3.             Perumusan hipotesis yang merupakan jawaban sementara atau dugaan terhadap pertanyaan yang diajukan yang materinya merupakan kesimpulan dari kerangka berpikir yang dikembangkan.
4.             Pengujian hipotesis yang merupakan pengumpulan fakta-fakta yang relevan dengan hipotesis yang diajukan untuk memperlihatkan apakah terdapat fakta-fakta yang mendukung hipotesis tersebut atau tidak.
5.             Penarikan kesimpulan yang merupakan penilaian apakah sebuah hipotesis yang diajukan itu ditolak atau diterima. Sekiranya dalam proses pengujian terdapat fakta yang cukup yang mendukung hipotesis maka hipotesis itu diterima. Sebaliknya sekiranya dalam proses pengujian tidak terdapat fakta yang cukup mendukung hipotesis maka hipotesis ditolak. Hipotesis yang diterima kemudian dianggap menjadi bagian dari pengetahuan ilmiah sebab telah memenuhi persyaratan keilmuan yakni mempunyai kerangka penjelasan yang konsisten dengan pengetahuan ilmiah sebelumnya serta telah teruji kebenarannya. Pengertian kebenaran di sini harus ditafsirkan secara pragmatis artinya bahwa sampai saat ini belum terdapat fakta yang menyatakan sebaliknya.

D.      Struktur Pengetahuan Ilmiah
Pengetahuan yang diproses menurut metode ilmiah merupakan yang memenuhi syarat-syarat keilmuan, dan dengan demikian dapat disebut pengetahuan ilmiah atau ilmu. Ilmu dapat diibaratkan sebagai piramida terbalik dengan perkembangan pengetahuannya yang bersifat kumulatif di mana penemuan pengetahuan ilmiah yang satu memungkinkan penemuan pengetahuan-pengetahuan ilmiah yang lainnya.
Sebuah hipotesis yang telah teruji secara formal diakui sebagai pernyataan pengetahuan ilmiah yang baru yang memperkaya khasanah ilmu yang telah ada. Ilmu pada dasarnya merupakan kumpulan pengetahuan yang bersifat menjelaskan berbagai gejala alam yang memungkinkan manusia melakukan serangkaian tindakan untuk menguasai gejala tersebut berdasarkan penjelasan yang ada. Sekiranya kita mengetahui bahwa banjir disebabkan hutan yang ditebang sampai gandul, umpamanya, maka penjelasan semacam ini akan memungkinkan kita melakukan upaya untuk mencegah timbulnya banjir. Penjelasan keilmuan memungkinkan kita meramalkan apa yang akan terjadi dan berdasarkan ramalan tersebut kita bisa melakukan upaya untuk mengontrol agar ramalan itu menjadi kenyataan atau tidak.
Perkembangan Ilmu Pada Masa Modern dan Kontemporer secara Epistimologi
Sebagian ciri yang patut mendapat perhatian dalam epistimologis perkembangan ilmu pada masa modern adalah munculnya pandangan baru mengenai ilmu pengetahuan. Perubahan pandangan tentang ilmu pengetahuan mempunyai peran penting dalam membentuk peradaban dan kebudayaan manusia, dan dengan itu pula tampaknya, muncul semacam kecenderungan yang terjalin pada jantung setiap ilmu pengetahuan dan juga para ilmuwan untuk lebih berinovasi untuk penemuan dan perumusan berikutnya.
Kecenderungan yang lain ialah adanya hasrat untuk selalu menerapkan apa yang dihasilkan ilmu pengetahuan, baik dalam dunia teknik mikro maupun makro. Dengan demikian tampaklah bahwa semakin maju pengetahuan, semakin meningkatan keinginan manusia, sampai memaksa, membabi buta. Akibatnya ilmu pengetahuan dan hasilnya menjadi tidak manusiawi lagi, bahkan cenderung memperbudak manusia sendiri yang telah  merencanakan dan menghasilkannya. Kecenderungan yang kedua inilah yang lebih mengerikan dari yang pertama, namun tidak dapat dilepaskan dari kecenderungan yang pertama.
Dalam bidang filsafat, Descrates mewariskan suatu metode berpikir yang menjadi landasan berpikir dalam ilmu pengetahuan modern. Langkah-langkah tersebut adalah:
1.             Tidak menerima apa pun sebagai hal yang benar, kecuali kalau diyakini sendiri bahwa itu memang benar.
2.             Memilah-milah masalah menjadi bagian-bagian terkecil untuk mempermudah penyelesaian.
3.             Berpikir runtut dengan mulai dari hal yang sederhana sedikit demi sedikit untuk mencapai ke hal yang paling rumit.

BAB VI
AKSIOLOGI
A.    Pengertian Aksiologi
Secara etimologis, aksiologis berasal dari kata aksios yang berarti nilai dan logos berarti ilmu atau teori. Aksiologi sebagai teori tentang nilai membahas tentang hakikat nilai sehingga disebut dengan Filsafat Nilai.
Untuk lebih mengenal apa yang dimaksud dengan aksiologi, penulis akan menguraikan beberapa definisi tentang aksiologi, diantaranya:
  1. Aksiologi berasal dari perkataan axios (yunani) yang berarti nilai dan logos yang berarti teori. Jadi aksiologi adalah “teori tentang nilai”.
  2. Sedangkan arti aksiologi yang terdapat di dalam bukunya Jujun S. Suriasumantri Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer bahwa aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.
  3. Menurut Bramel, aksiologi terbagi dalam tiga bagian. Pertama, moral conduct, yaitu tindakan moral, bidang ini melahirkan disiplin khusus, yakni etika. Kedua, esthetic expression, yaitu ekspresi keindahan. Bidang ini melahirkan keindahan. Ketiga, sosio-political life, yaitu kehidupan sosial politik, yang akan melahirkan filsafat sosio politik
  4. Dalam Encyclopedia of  Philosophy dijelaskan, aksiologi disamakan dengan Value and Valuation.

B.     Fungsi Aksiologi
Aksiologi ilmu pengetahuan sebagai strategi untuk mengantisipasi perkembangan kehidupan manusia yang negative sehingga ilmu pengetahuan dan teknologi tetap berjalan pada jalur kemanusiaan.
Oleh karena itu, daya kerja aksiologi terbagi menjadi tiga macam, yaitu :
1.      Menjaga dan memberi arah agar proses kelimuan dapat menemukan kebenaran yang hakiki, maka perilaku keilmuan perlu dilakukan dengan penuh kejujuran
2.      Dalam pemilihan objek penelaahan dapat dilakukan secara etis yang tidak mengubah kodrat manusia, tidak merendahkan martabat manusia
3.      Pengembangan ilmu pengetahuan diarahkan untuk dapat meningkatkan taraf hidup yang memperhatikan kodrat dan martabat manusia serta keseimbangan, kelestarian alam lewat pemanfaatan ilmu

C.    Problematika Aksiologi
Dalam filsafat ilmu terjadi banyak kesibukan dalam menghadapi pertanyaan apakah ilmu bersifat bebas nilai atau tidak. Suatu tanggapan disebut pertimbangan nilai jika didalamnya orang mengatakan bahwa sesuatu hal baik atau buruk, positif atau negatif, atau apakah sesuatu hal layak untuk diutamakan dibandingkan dengan hal yang lain. Ini berarti hal tersebut terikat oleh asas moral keilmuan.


D.    Aksiologis dan Nilai
Aliran logis positivistik menganggap bahwa ilmu pengetahuan haruslah bebas nilai, mengaitkan antara ilmu dengan nilai akan mengurangi kadar objektifitas ilmiah dari ilmu. Hal-hal yang sifatnya subjektif haruslah disingkirkan agar validitas kebenaran yang objektif dapat dipertanggungjawabkan.
Pendapat aliran dualisme mengatakan bahwa sebelum mengambil keputusan, apakah ilmu itu bebas nilai atau terikat nilai, lebih dahulu ilmu harus didahulukan kembali pada kedudukan ilmu itu sendiri. Ilmu dalam aliran ini dibagi kepada dua macam, yaitu : ilmu eksak atau ilmu kerohanian.
E.     Ilmu, Nilai, dan Moral
Secara metafisik ilmu ingin mempelajari alam sebagaimana adanya , sedangkan pihak lain terdapat keinginan agar ilmu mendasarkan kepada pernyataan-pernyataan atau nilai-nilai yang terdapat dalam ajaran-ajaran di luar bidang keilmuan di antaranya agama.
Dihadapkan dengan masalah moral dalam menghadapi akses ilmu dan teknologi yang bersifat merusak ini para ilmuan terbagi ke dalam dua golongan pendapat. Golongan pertama menginginkan ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai baik itu secara ontologis maupun aksiologis. Golongan kedua sebaliknya berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya, bahkan pemilihan obyek penelitian, maka kegiatan keilmuan harus berlandaskan asas-asas moral.
Ilmu merupakan sesuatu yang paling penting  bagi manusia, karena dengan ilmu semua keperluan dan kebutuhan manusia bisa terpenuhi secara lebih cepat dan lebih mudah. Dan merupakan kenyataan yang tidak bisa dipungkiri bahwa peradaban manusia sangat berhutang kepada ilmu. Ilmu telah banyak mengubah wajah dunia seperti hal memberantas penyakit, kelaparan, kemiskinan, dan berbagai wajah kehidupan yang sulit laimmya. Dengan kemajuan ilmu juga manusia bisa merasakan kemudahan lainnya seperti transportasi, pemukiman, pendidikan, komunikasi, dan lain sebagainya. Singkatnya ilmu merupakan sarana untuk membentu manusia dalam mencapai tujuan hidupnya.
Nilai, digunakan sebagai kata benda abstrak. Dalam pengertian yang lebih sempit seperti, baik, menarik, dan bagus. Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas mencakupi sebagai tambahan segala bentuk kewajiban, kebenaran, dan kesucian. Penggunaan nilai yang lebih luas, merupakan kata benda asli untuk seluruh macam kritik atau predikat pro dan kontra, sebagai lawan dari suatu yang lain dan ia berada dengan fakta. Teori nilai atau aksiologi adalah bagian dari etika. Sebagai nilai kontributor atau nilai yang merupakan pengalaman yang memberikan kontribusi. Nilai sebagai kata benda konkret. Contohnya ketika kita berkata sebuah nilai atau nilai-nilai, ia seringkali dipakai untuk merujuk kepada sesuatu yang bernilai, seperti nilainya, nilai dia, dan  system nilai dia. Kemudian dipakai untuk apa-apa yang memiliki nilai atau bernilai sebagai mana berlawanan dengan apa-apa yang tidak dianggap baik atau bernilai. Nilai juga digunakan sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai, memberi nilai, dan dinilai. Menilai umumnya sinonim dengan evaluasi ketika hal tersebut secara aktif digunakan untuk menilai perbuatan.
Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika.
Makna”etika”dipakai dalam dua bentuk arti, pertama, etika merupakan suatu kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan-perbuatan manusia. Seperti ungkapan “saya pernah belajar etika”. Arti kedua, merupakan suatu predikat yang dipakai untuk membedakan hal-hal, perbuatan-perbuatan, atau manusia-manusia yang lain. Seperti ungkapan “iabersifat etis atau ia seorang yang jujur atau pembunuhan merupakan sesuatu yang tidak susila”.
Nilai itu objektif ataukah subjektif adalah sangat tergantung dari hasil pandangan yang muncul dari filsafat. Nilai akan menjadi subjektif, apabila subjek sangat berperan dalam segala hal, kesadaran manusia menjadi tolok ukur segalanya; atau eksistensinya, maknanya dan validitasnya tergantng pada reaksi subjek yang melakukan penilaian tanpa mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis ataupun fisik. Dengan demikian, nilai dimiliki akal budi manusia, seperti perasaan, intelektualitas dan hasil nilai subjektf akan selalu mengarah kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak senang. Misalnya,  seorang melihat matahari yang sedang terbenam di sore hari. Akibat yang dimunculkannya adalah menimbulkan rasa senang karena melihat betapa indahnya matahari terbenam itu. Ini merupakan nilai yang subjektif dari seseorang dengan orang lain akan memiliki kualitas yang berbeda.
Nilai dan norma yang harus berada pada etika keilmuan adalah nilai dan norma moral. Lalu apa yang menjadi kriteria pada nilai dan norma moral itu ?  Nilai moral tidak berdiri sendiri, tetapi ketika ia berada pada atau menjadi milik seorang, ia akan bergabung dengan nilai yang ada seperti nilai agama, hukum, budaya, dan sebagainya. Yang paling utama dalam nilai moral adalah yang terkait dengan tanggung jawab seorang. Norma moral menentukan apakah seseorang berlaku baik ataukah buruk dari sudut etis. Bagi seorang ilmuan, nilai dan norma moral yang dimilikinya akan menjadi penentu, apakah  ia sudah menjadi ilmuan yang baik atau belum.
Dibidang etika, tanggung jawab seorang ilmuan, bukan lagi memberi informasi namun harus memberi contoh. Dia harus bersifat objektif, terbuka, menerima kritik, menerima pendapat orang lain, kukuh dalam pendirian yang dianggap benar, dan kalau berani mengakui kesalahan. Semua sifat ini, merupakan implikasi etis dari proses penemuan kebenaran secara ilmiah. Ditengah situasi dimana nilai megalami kegoncangan, maka seorang ilmuan harus tampil ke depan. Akan memberinya keberanian. Hal yang sama harus dilakukan pada masyarakat yang sedang membangun, seorang ilmuan harus bersikap sebagai seorang pendidik dengan memberikan contoh yang baik.

Bab VII
ILMU-ILMU ALAM dan ILMU PENGETAHUAN (SAINS)
A.      Definisi Ilmu
Ilmu adalah suatu bentuk aktivitas manusia yang dengan melakukannya umat manusia memproleh suatu pengetahuan dan senantiasa lebih lengkap dan lebih cermat tentang alam di masa lampau, sekarang dan kemudian hari, serta suatu kemampuan yang meningkat untuk menyesuaikan dirinya pada dan mengubah lingkungannya serta mengubah sifat-sifatnya sendiri.
Menurut Carles Siregar: “Ilmu adalah proses yang membuat pengetahuan”. Dalam arti umum, ilmu sering dijadikan pembeda, umpamanya untuk membedakan antara disiplin ilmu pengetahuan alam (IPA) dengan ilmu pengetahuan sosial ( IPS ).
Sementara, menurut Jujun S. Suriasumantri dalam buku ilmu dalam perspektif menulis: “Ilmu lebih bersifat merupakan kegiatan daripada sekedar produk yang siap dikonsumsikan.  Ilmu bukan sekedar pengetahuan (knowledge), tetapi merangkum sekumpulan pengetahuan berdasarkan teori-teori yang disepakati dan dapat secara sistematik diuji dengan seperangkat metode yang diakui dalam bidang ilmu tertentu. Dipandang dari sudut filsafat, ilmu terbentuk karena manusia berusaha berfikir lebih jauh mengenai pengetahuan yang dimilikinya. Ilmu pengetahuan adalah produk dari epistemologi.

·      Tumbuh-tumbuhan merupakan salah satu obyek yang dipelajari oleh ilmu alam
          Ilmu alam (Inggris: natural science) atau ilmu pengetahuan alam adalah istilah yang digunakan yang merujuk pada rumpun ilmu dimana obyeknya adalah benda-benda alam dengan hukum-hukum yang pasti dan umum, berlaku kapan pun dimana pun. Sains (science) diambil dari kata latin scientia yang arti harfiahnya adalah pengetahuan. Sund dan Trowbribge merumuskan bahwa Sains merupakan kumpulan pengetahuan dan proses. Sedangkan Kuslan Stone menyebutkan bahwa Sains adalah kumpulan pengetahuan dan cara-cara untuk mendapatkan dan mempergunakan pengetahuan itu.
Alam mempelajari aspek-aspek fisik & non manusia tentang Bumi dan alam sekitarnya. Ilmu-ilmu alam membentuk landasan bagi ilmu terapan, yang keduanya dibedakan dari ilmu sosial, humaniora, ,teologi dan seni.
 Terdapat perselisihan tentang apakah objek-objek matematika seperti bilangan dan titik hadir secara alami, atau hanyalah buatan manusia. Seorang matematikawan Benjamin Peirce menyebut matematika sebagai “Ilmu yang menggambarkan simpulan-simpulan yang penting”.  Dipihak lain albert Einstein menyatakan bahwa “Sejauh hokum-hukum matematika merujuk kepada kenyataan, mereka tidaklah pasti; dan sejauh mereka pasti, mereka tidak merujuk kepada kenyataan.
·         Cabang utama dari ilmu alam:
1)      Astronomi
2)      Geologi
3)      Fisika
4)      Biologi
5)      Kimia
6)      Ilmu bumi
7)      Geografi fisik berbasis ilmu
8)      Ekologi

B.  Definisi Pengetahuan
Secara etimologi pengetahuan berasal dari kata dalam bahasa inggris yaitu knowledge. Dalam encyclopedia of philosophy dijelaskan bahwa definisi pengetahuan adalah kepercayaan yang benar. Sedangkan secara terminologi menurut Drs. Sidi Gazalba, pengetahuan adalah apa yang diketahui atau hasil pekerjaan tahu. Pekerjaan tahu tersebut adalah hasil dari kenal, sadar, insaf, mengerti, dan pandai. Pengetahuan itu adalah semua milik atau isi pikiran. Dengan demikian pengetahuan merupakan hasil proses dari usaha manusia untuk tahu. Dalam kamus filsafat dijelaskan bahwa pengetahuan (knowledge) adalah proses kehidupan yang diketahui manusia secara langsung dari kesadarannya sendiri.
C.      Jenis Pengetahuan
Pengetahuan yang dimiliki manusia ada empat, yaitu :
1.         Pengetahuan biasa, yakni pengetahuan yang dalam filsafat dikatakan dengan istilah common sense, dan sering diartikan dengan good sense, karena seseorang memiliki sesuatu di mana ia menerima secara baik.
2.         Pengetahuan ilmu, yaitu ilmu sebagai terjemahan dari science. Dalam pengertian yang sempit science diartikan untuk menunjukkan ilmu pengetahuan alam, yang sifatnya kuantitatif dan objektif.
3.         Pengetahuan filsafat, yakni pengetahuan yang diperoleh dari pemikiran yang bersifat kontemplatif dan spekulatif. Pengetahuan filsafat lebih menekankan pada universalitas dan kedalaman kajian tentang sesuatu.
4.         Pengetahuan agama, yakni pengetahuan yang hanya diperoleh dari tuhan lewat para utusannya. Pengetahuan agama bersifat mutlak dan wajib diyakini oleh para pemeluk agama. Pengetahuan mengandung beberapa hal yang pokok, yaitu ajaran tentang cara berhubungan dengan tuhan, yang sering juga disebut dengan hubungan vertikal dan cara berhubungan dengan sesama manusia, yang sering juga disebut dengan hubungan horizontal.  

D.      Perbedaan Pengetahuan dengan Ilmu
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ilmu disamakan artinya dengan pengetahuan, ilmu adalah pengetahuan. Dari asal katanya, kita dapat ketahui bahwa pengetahuan diambil dari kata dalam bahasa Inggris yaitu knowledge, sedangkan ilmu diambil dari kata science dan peralihan dari kata Arab ilm.
Sains ini adalah terminologi, yang dipinjam dari bahasa Inggris yakni science.  Keberatan kedua adalah bahwa terminologi science dalam bahasa asal penggunaannya sering dikaitkan dengan natural science seperti teknik. Economics, sering dikonotasikan bukan science, namun social science lainnya. Dengan demikian maka terminologi science sering dikaitkan dengan teknologi. Sederhananya adalah bahwa ilmu-ilmu sosial bukanlah science; atau paling tidak, preferensi utama penggunaan kata science adalah untuk ilmu-ilmu alam. 
Pengetahuan merupakan hasil tahu manusia terhadap sesuatu, atau segala perbuatan manusia untuk memahami suatu objek tertentu. Pengetahuan dapat berwujud barang-barang fisik, pemahamannya dilakukan dengan cara persepsi baik lewat indra maupun lewat akal, dapat pula objek yang dipahami oleh manusia berbentuk ideal atau yang bersangkutan dengan masalah kejiwaan.
Ada dua bentuk pengetahuan, yaitu: pengetahuan yang sifatnya prailmiah dengan pengetahuan ilmiah. Pengetahuan yang bersifat prailmiah ialah pengetahuan yang belum memenuhi syarat-syarat ilmiah umumnya. Sebaliknya, pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang harus memenuhi syarat-syarat ilmiah. Pengetahuan pertama disebut pengetahuan biasa, pengetahuan kedua disebut pengetahuan ilmiah.
Adapun sifat-sifat ilmiah yang perlu dimiliki oleh para ilmuan yaitu :
1.   Tidak ada rasa pamrih (disinterstendness), merupakan sikap yang diarahkan untuk mencapai pengetahuan ilmiah yang objektif dan menghilangkan pamrih.
2.   Bersikaf selektif yaitu sikap yang tujuannya agar para ilmuan mampu mengadakan pemilihan terhadap segala sesuatu yang dihadapi.
3.   Adanya rasa percaya yang layak baik terhadap kenyataan mampu terhadap alat-alat indera serta budi (mind) dan lain-lain.
Adapun persyaratan ilmiah :
1)      Objektif
2)      Metodis
3)      Sistematis
4)      Dan universal.
Perbedaan antara ilmu dengan pengetahuan dapat ditelusuri dengan melihat perbedaan ciri-cirinya. Herbert L. Searles memperlihatkan ciri-ciri tersebut sebagai berikut: “Kalau ilmu berbeda dengan filsafat berdasarkan empiris, maka ilmu berbeda dari pengetahan biasa karena ciri sistematisnya”. Pada dasarnya pengetahuan berbeda dengan ilmu. Perbedaan iu terlihat dari sifat sistematik dan cara memperolehnya. Perbedaan tersebut menyangkut pemahaman biasa, sedangkan pengetahuan ilmiah dengan ilmu tidak mempunyai perbedaan yang berarti.
E.       Perbandingan Ukuran Kebenaran Ilmu dengan Pengetahuan
1. Ukuran Kebenaran Pengetahuan
              Tujuan pengetahuan adalah untuk mencapai kebenaran, namun masalahnya tidak hanya sampai disitu saja. Problem kebenaran inilah yang mengacu tumbuh dan berkembangnya epistemologi. Telaah epistemologi terhadap “kebenaran” membawa orang kepada sesuatu kesimpulan bahwa perlu diberdakan adanya tiga jenis kebenaran, yaitu kebenaran epistemologis, kebenaran ontologis dan kebenaran semantis. Kebenaran epistemologis adalah kebenaran yang berhubungan dengan pengetahuan manusia. Kebenaran dalam arti ontologis adalah kebenaran sebagai sifat dasar yang melekat pada hakikat segala sesuatu yang ada atau diadakan. Kebenaran dalam arti semantis adalah kebenaran yang terdapat serta melekat dalam tutur kata dan bahasa.
a)         Teori korespondensi
Menurut teori ini, kebenaran atau keadaan benar itu apabila ada kesesuaian antara arti yang dimaksud oleh suatu pernyataan atau pendapat dengan objek yang dituju oleh pernyataan atau pendapat tersebut. Dengan demikian, kebenaran epistemologis adalah kemanunggalan antara subjek dan objek. Pengetahuan itu dikatakan benar apabila di dalam kemanunggalan yang sifatnya intrinsik, intensional, dan pasif-pasif terdapat kesesuaian antara apa yang ada di dalam pengetahuan subjek dengan apa yang di dalam objek. Hal itu karena puncak dari proses kognitif manusia terdapat di dalam budi atau pikiran manusia, maka pengetahuan adalah benar bila apa yang terdapat di dalam budi pikiran subjek itu benar sesuai dengan apa yang ada di dalam objek.
b)        Teori koherensi tentang kebenaran
Menurut teori ini kebenaran tidak dibentuk atas hubungan antara putusan (judgement) dengan sesuatu yang lain, yaitu fakta atau realitas, tetapi atas hubungan antara putusan-putusan itu sendiri. Dengan perkataan lain, kebenaran ditegakkan atas hubungan antara putusan yang baru itu dengan putusan-putusan lainnya yang telah kita ketahui dan akui kebenarannya terlebih dahulu.
c)    Teori pragmatisme tentang kebenaran
Menurut teori ini, suatu kebenaran dan suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan manusia.
d)   Agama sebagai teori kebenaran
Manusia adalah makhluk pencari kebenaran. Salah satu cara untuk menemukan suatu kebenaran adalah melalui agama. Agama dengan karakteristiknya sendiri memberikan jawaban atas segala persoalan asasi yang dipertanyakan manusia, baik tentang alam, manusia, maupun tentang tuhan. Ketiga teori kebenaran sebelumnya lebih mengedepankan akal, budi, rasio, dan reason manusia, dalam agama yang dikedepankan adalah wahyu yang bersumber dari tuhan. Dengan demikian, suatu hal itu dianggap benar apabila sesuai dengan ajaran agama atau wahyu sebagai penentu kebenaran mutlak.
2. Ukuran Kebenaran Suatu Ilmu
Syarat mutlak untuk menemukan kebenaran suatu ilmu, yang dapat berfikir secara ilmiah, yaitu ada 3 tahap berfikir yang harus dilalui, antara lain:
a.         Skeptik
Menerima kebenaran tidak langsung diterima begitu saja, namun dia berusaha menanyakan faktor-faktor atau bukti-bukti terhadap setiap pernyataan yang diterimanya.
b.        Analitik
Menerima kebenaran dengan berusaha menimbang-menimbang setiap permasalahn yang dihadapinya
c.         kritis
Menerima kebenaran dengan upaya mengembangkan kemampuan menimbang setiap permasalahan yang di hadapinya secara obyektif.

BAB VIII
PEMBAHASAN
ANARKISME EPISTEMOLOGI KARL POPPER DAN FEYERABAND
A. Biografi  Karl Popper
            Popper memiliki nama lengkap Karl Raimund Popper. Seorang filosof sains keturunan Inggris-Austria. Ia dilahirkan diWina pada tanggal Juli  1902 dan kemudian meninggal pada Agustus 1994.. Dalam bidang pendidikan, Popper memiliki latar belakang keilmuan yang cukup variatif dan terkesan menjadi seorang yang anti terhadap kemapanan. Hal ini dapat dilihat dari beberapa indikasi yaitu ; Pertama, pada usia 16 tahun Popper meninggalkan sekolahnya(Rea lgumnasium) karena pelajaran-pelajaran yang disajikan sangat membosankan. Kedua, menjadi pendengar bebas pada universitas Wina dan empat tahun kemudian ia diterima sebagai mahasiswa di universitas tersebut. Ketiga, Popper memilih mata kuliah matematika dan fisika teoritis. Sebagaimana dijelaskan oleh Popper dalam autobiografinya, pada awalnya ia sangat tertarik pada Marxisme. Namun, kemudian ia menyadari betapa bahayanya paham tersebut bahkan dipandang sangat tidak bertanggung jawab terhadap kebaikan massa. Hal ini menyebabkan  ia kecewa dan menjadi seorang yang antikomunis dan marxisme. Dalam kemajuan semacam itu, Popper terinspirasi oleh ucapan Socrates “Saya tahu bahwa saya tidak tahu”. Inspirasi inilah          yang kemudian membangkitkan obsesi untuk membangun pengetahuan ilmiah yang kritis. Dengan semangat keilmuan yaitu, maka  Popper bukan  saja berhasil memiliki ijazah untuk mengajar matematika, fisika, dan kimia, tetapi berhasil pula memperoleh gelar “doctor filsafat” (Ph.D) pada tahun 1928 dengan disertasi tentang Zur Methodenfrage der Denpsychologie (Masalah metodologi dalam psikologi pemikiran).

Salah satu peristiwa yang mempengaruhi perkembangan inteklektual popper dalam filsafatnya adalah dengan tumbangnya teori newton dengan munculnya teori tentang gaya berat dan kosmologi baru yang dikemukakan oleh Eistein. Dimana popper terkesan dengan ungkapan Eistein yang mengatakan bahwa teorinya tak dapat dipertahankan kalau gagal dalam tes tertentu, dan ini sangat berlainan sekali dengan sikap kaum marxis yang dogmatis dan selalu mencari verifikasi terhadap teori-teori kesayangannya.

Dari peristiwa ini Popper menyimpulkan bahwa sikap ilmiyah adalah sikap kritis yang tidak mencari pembenaran-pembenaran melainkan tes yang krusial berupa pengujian yang dapat menyangkal teori yang diujinya, meskipun tak pernah dapat meneguhkannya.

Dari sini popper menarik kesimpulan bahwa menghadapkan teori-teori pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya adalah satu-satunya cara yang tepat untuk mengujinya dan juga satu-satunya cara yang memungkinkan ilmu pengetahuan bisa berkembang terus-menerus. Dan dengan adanya kemungkinan untuk menguji teori tentang ketidakbenarannya berarti teori itu terbuka untuk dikritik dan ia memunculkan apa yang dinamakan Rasionalisme kritis. Demikianlah  sekelumit kehidupan Karl Raimund Popper yang mengakhiri hidupnya pada tahun 1994.

1. Kritik terhadap Positivisme Logis
            Asumsi pokok teorinya adalah satu teorinya adalah satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya, dan popper menyajikan teori ilmu pengetahuan baru ini sebagai penolakannya atas positivisme logis yang beranggapan bahwa pengetahuan ilmiah pada dasarnya tidak lain hanya berupa generalisasi pengalaman atau fakta nyata dengan menggunakan ilmu pasti dan logika. Dan menurut positivisme logis tugas filsafat ilmu pengetahuan adalah menanamkan dasar untuk ilmu pengetahuan.
Hal yang dikritik oleh popper pada positivisme logis adalah tentang Metode Induksi, ia berpendapat bahwa induksi tidak lain hanya khayalan belaka,dan mustahil dapat menghasilkan pengetahuan ilmiah melalui induksi. Tujuan ilmu pengetahuan adalah mengembangkan pengatahuan ilmiah yang berlaku dan benar, untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan logika, namun jenis penalaran yang dipakai oleh positivism logis adalah induksi dirasakan tidak tepat sebab jenis penalaran ini tidak mungkin menghasilkan pengetahuan ilmiah yang benar dan berlaku, karena kelemahan yang bisa terjadi adalah kesalahan dalam penarikan kesimpulan, dimana dari premis-premis yang dikumpulkan kemungkinan tidak lengkap sehingga kesimpulan atau generalisasi yang dihasilkan tidak mewakili fakta yang ada. Dan menurutnya agar pengetahuan itu dapat berlaku dan bernilai benar maka penalaran yang harus dipakai adalah penalaran Deduktif.

 2. Kritik Popper terhadap dan Epistemologi
  • Ilmu pengetahuan dan bukan ilmu
            Ilmu pengetahuan dapat dinyatakan secara umum adalah yang mengenai hal-hal yang logis dan berdasar penelitian, tetapi membuka kritik dan perbaikan ; sedangkan yang bukan ilmu adalah ungkapan yang universal, tidak berlandaskan persyaratan seperti yang ditemukan oleh ilmu pengetahuan, sehingga sukar pula untuk dibicarakan secara ilmiah.
  • Proses pengembangan pengetahuan ilmiah
            Popper menekankan bahwa pengalaman merupakan unsur yang paling menentukan dan pengalaman tidak sesuatu yang berdiri sendiri yang dapat dipakai sebagai tolak ukur untuk pembuktian atau pembenaran suatu teori atau pernyataan, melainkan mengenai cara menguji, atau metode penelitian itu sendiri. Jadi popper mengatakan bahwa pengalaman sama dengan pengujian dan pengujian sama dengan metode penelitian.
Popper juga mengungkapkan adanya tahap-tahap pengembangan pengetahuan ilmiah, yaitu:
a)      Penemuan masalah
b)      Pembuatan teori
c)      Perumusan masalah atau hipotesa
d)     Pengujian ramalan
e)      Penilaian hasil
f)       Pembuatan teori baru
Dari penjelasan diatas bahwa untuk mengembangkan pengetahuan ilmiah tentunya manusia tidak akan lepas dari keinginan percobaan, kesalahan, terkaan atau penolakan yang silih berganti dan menurut popper teori adalah unsure tetap dalam evolusi manusia dan teori pula adalah unsure rasio dan bagian dari pembawaan manusia.
Apa yang dimaksud oleh popper Rasionalisme Kritis adalah memberikan kebebasan pada manusia untuk berfikir penuh kepada manusia. Pikiran manusia merupakan percobaan ataau terkaan belaka. Untuk memperbaiki nasibnya, manusia dituntut mengembangkan pengetahuan ilmiah dengan cara mengungkapkan kesalahan-kesalahan yang tersimpan dalam pikirannya sendiri. Teori disatu pihak hanyalah alat untuk mencapai pikiran yang lain yang lebih tepat.
B. Paul feyerabend
1.      Biografi Feyerabend
           Paul feyerbend lahir di Wina tahun 1924. Gelar doctor fisika ia peroleh dari Wina. Menurut pengakuannya, pada masa itu ia menggambarkan sebagai seorang Rasionalis. Maksudnya pada masa itu ia percaya akan keutamaan dan keunggulan ilmu pengetahuan secara ilmiah. Feyerbend memasuki keanggotaan dalam Himpunan Penyelamatan Fisika Teoritis (A Club For Salvation of theoretical Physics).     
           Sikap keras dan cara berfikir emosional yang seakan-akan menjadi karakter feyerbend urband disatu sisi membuatnnya mendapat apresiasi karena konsistensi pemikirannya, tetapi disisi lain juga menimbulkan munculnya anti-simpati terhadap pernyataan-pernyataannya. Pesimisme feyerbend terhadap filsafat yang dinggap tidak bisa menyediakan metodologi atau rasio dalam ilmu pengetahuan. Semua teori ilmiah yang diciptakan para ilmuwan selama ini hanya dilandasi irasionalitas dan subyektifitas.
Kritik Feyerband  terhadap epistemologis
Titik awal pemikiran mengenai metodologi keilmuan feyerbend justru merupakan reaksi ketidaksetujuan terhadap pemikiran popper yang notabene merupakan gurunya di London School of Economics. Feyerbend bahkan secara tegas menyangkal metode falsifikasi popper. Falsifikasi popper sendiri menngasumsikan  bahwa setiap setiap teori keilmuan harus selalu difalsifikasi untuk mencapai sebuah teori yang lebih sempurna. Disini feyerbend memunculkan arus pluralis, bukannya memfalsifikasi, tetapi terus memacu perkembangan-perkembangan teori-teori keilmuan baru dan terus mempertahankannya.
Kemudian tolak ukur keberhasilan dari teori-teori yang baru tersebut tidak harus selalu mengekor teori lama, ataupun harus mengacu kepada suatu bentuk yang dianggap mendekati sempurna. Kemunculan teori-teori baru itupun sudah dinggap sebagai kemajuan karena memang sangat sulit untuk memunculkan paradigm-paradigma lain dengan berbagai factor  akademis maupun budaya dan politik yang ikut mengekang jalannya suatu keilmuan.
           Anarkisme Feyerabend disebut sebagai anarkisme epistemologis, yang ia pertentangkan dalam anarkisme politik. Bila anarkisme politis anti terhadap kemapanan atau kekuasaan, maka anarkisme metodologis justru ingin mempertahankannya. Maksud feyeraband ialah bahwa dalam epistemologis terdapat bentuk anarkisme yang berupaya mempertahankan kemapanan sekaligus menyingkirkan kemapanan. Ia bukan hanya tidak punya program tetapi anti program. Hal itu ditempuh untuk memberikan kebebasan bagi perkembangan metode-metode alternative. Anarkisme Feyeraband yang demikian itu, terkadang diartikan orang sebagai kesewenang-wenangan epistemology, karena tidak adanya ukuran atau aturan yang tetap untuk menentukan antara yang ilmiah dengan non-ilmiah.
Anarkisme metodologis yang ditawarkan feyerbend disini bukan merupakan sebuah bentuk penggulingan status quo keilmuan. Konsentrasi justru lebih diarahkan pada munculnya paradigma-paradigma lain dengan tidak menegasi mengenai keilmuan yang terlebih dulu mendominasi. Kebebasan bagi status quo maupun metode-metode alternatif untuk terus mengembangkan keilmuan tanpa hambatan dalam aspek epistemology di sinilah yang merupakan karakter khusus dari anarkisme metodologis ala feyerabend.
Pandangan Feyeraband di ataslah yang disebut dengan Anti-Metode, yang ia paparkan dalam Against Method (1975). Serangan yang dikenal dengan anti-metodenya itu, dipaparkan dalam empat bagian. Pertama, kontra induksi. Kedua, ketergantungan observasi pada teori. Ketiga, prinsip ketidaksepadanan. Keempat prinsip  apa saja boleh. Kritik-kritik tajam feyerabend cukup ampuh membongkar pandangan saintisism. Berdasarkan analisis sejarah, ia dapat mengajukan bukti-bukti bahwa ilmu pengetahuan itu berkembang justru karena memberinya kebebasan, bukan dengan memagarinya melalui peraturan tunggal atau haanya dengan menerapkan satu metode. Seorang ilmuan menurut feyerabend, perlu keberanian dalam mengajukan ide-ide, gagasan-gagasn baru tanpa harus dikekang oleh tradisi ilmiah. Namun tentu saja kekbebasan yang diinginkannya bukanlah kebebasan yang liar, bukan kecendrungan sesaat yang tidak berdasar dan berarti sedikitpun. Prinsip apa saja boleh bukan berarti apa saja boleh tanpa batas, tanpa aturan dan tujuan. Inilah yang dimaksud feyerabend dengan anarkisme epistemologis. 
Sumbangan terbesar feyerabend dalam filsafat keilmuan bukan karena dia mengacaukan tatanan metodologis yang ada. Peran feyerbend dalam terus memunculkan semangat mengakselerasi munculnya keragaman metode keilmuan untuk menghindarkan absolutisme dan potensi kejatuhan ilmu pengetahuan menjadi alat bagi tirani yang berkuasa. Feyerabend juga tidak membenci keberadaan ilmu pengetahuan (anti-scence). potensi ilmu pengetahuan dalam perkembangan peradaban manusia yang kemudian rusak karena terjatuhnya para ilmuwan dalam keseragaman dan tirani itulah yang berusaha dinegasikan oleh feyerabend.


BAB IX
STATUS ONTOLOGI DAN OBJEK ILMU DAN BASIS ONTOLOGI KLASIFIKASI ILMU
A.       STATUS ONTOLOGIS OBJEK ILMU
  1. Pengertian Status Ontologis
Status adalah suatu kedudukan yang menunjukkkan keadaan sseorang. Contohnya, yang sering kita dengar di kalangan seseorang adalah statusnya menyatakan sebagai seorang pelajar.  Sedangkan ontologis adalah cabang metafisika yang membicarakan watak realitas tertinggi atau wujud. Jadi status ontologis adalah kedudukan yang menunjukkkan keadaan cabang metafisika yang membicarakan watak realitas tertinggi atau wujud.
  1. Objek-objek Ilmu
Obyek terdiri dari:
a.       Materi : obyek yang dipelajari, misalnya:
*      manusia;                     
*      kehidupan;
*      benda mati; dan
*      alam semesta.
b.      Formal : obyek yang menjadi pusat perhatian (focus of interest) atau bidang studi, misalnya : 
w       kesehatan;
w       kedokteran;
w       pertanian;
w       ekonomi; dan
w       sastra.
Prinsip Utama Integrasi Ilmu
Konsep Tauhid merupakan basis utama bagi integrasi ilmu. Tauhid merupakan prinsip paling utama dalam epistemologi Islam, yaitu menjadi dasar integrasi ilmu pengetahuan manusia.
 
Integrasi Objek-objek Ilmu
Contohnya, sains modern Barat hanya mengakui objek-objek fisik-empiris yang dapat diobservasi oleh indera sebagai satu-satunya objek keilmuan yang sah dan valid. Maka, di dalam sistem keilmuan Islam, seluruh entitas wujud, baik entitas empiris maupun entitas non-empiris (entitas matematis dan metafisik) dipandang absah dan valid sebagai objek ilmu.
 
B.   BASIS ONTOLOGIS KLASIFIKASI OBJEK ILMU
1.    Pengertian Basis Ontologis
Basis adalah dasar; pokok; pangkalan; atau unsure. Sedangkan basis ontologis adalah dasar cabang metafisika yang membicarakan watak realitas tertinggi atau wujud.

  1. Klasifikasi Objek Ilmu
Contoh klasifikasi Ilmu Pengetahuan yang sederhana yaitu:
                          i.            Ilmu dasar (basic Science) misalnya      biologi yang  bertujuan mendalami teori dan isi alam yang  hidup.
                        ii.            Ilmu terapan (Applied Sciences) yang   bertujuan untuk memanfaatkan ilmu guna memecahkan masalah praktis misalnya mekanisme dan teknologi pertanian.
Klasifikasi ilmu pengetahuan berdasarkan isi pengetahuan ilmu diklasifikasikan menjadi tiga kelompok:
a.       Ilmu-ilmu kealaman (natural sciences) seperti :fisika,bilogi dan astronomi.
b.       Ilmu-ilmu sosial (sosial sciences) seperti : ekonomi, sisologi politik, dsb.
c.       Ilmu-ilmu kemanusiaan (humanisties) contoh: filsafat, budaya, bahasa
Menurut jenisnya ilmu pengetahuan diklasifikasikan ke dalam :
a.       Matematika (ilmu murni)
b.      Ilmu-ilmu kealaman (natural sciences)
c.       Ilmu-ilmu sosial (social sciences)
d.      Ilmu-ilmu tingkah laku (behavioral sciences)
e.       Kelompok ilmu-ilmu kemanusiaan (humaniora)
Integrasi klasifikasi ilmu didasarkan pada basis ontologis 3 kategori wujud sebagai berikut: (1) wujud yang secara niscaya tidak tercampur dengan gerak dan materi. (2) wujud yang dapat bercampur dengan materi dan bergerak, tetapi dapat juga memiliki wujud yang terpisah dari keduanya dan (3) wujud yang secara niscaya bercampur dengan gerak materi.
Dari ketiga pembagian jenis wujud di atas--sebagai basis ontologis-maka muncullah tiga kelompok besar ilmu: (a) ilmu metafisika, (b) matematika, dan (c) ilmu-ilmu alam.
Integrasi Klasifikasi Ilmu: Metafisika dan Matematika
Ilmu metafisik ini dibagi ke dalam tiga bagian :
·         Ilmu metafisik yang berhubungan dengan wujud (mawjudat) dan sifat-sifatnya sejauh ia merupakan wujud.
·         Ilmu metafisik yang mengklasifikasikan jenis-jenis wujud untuk menetapkan materi subjek ilmu-ilmu teoritis, dan
·         (Ilmu metafisik yang berhubungan dengan wujud-wujud yang bukan merupakan benda dan tidak berada Dalam benda, dan yang seperti itu banyak dan dapat diperingkat secara hierarkis dengan Tuhan dipuncaknya.
Matematika dibagi menjadi enam cabang:
·         Aritmatika.
·         Geometri
·         Astronomi
·         Musik
·         Optika
·         Geografi
Integrasi Klasifikasi Ilmu: Fisika
Ilmu-ilmu Alam, menyelidiki benda-benda alami dan aksiden-aksiden yang inheren didalamnya, dibagi menjadi:
·         Meteorologi yang membahas tentang pengaruh benda langt terhadap alam di bawahnya (bumi)
·         Minerologi yang berbicara mengenai barang mineral (tambang)
·         botani yang berkaitan dengan seluruh spesies tumbuhan, dan sifat umum dan sifat-sifat khusus dari masing-masing spesies.
·         Zoologi, yang berhubungan dengan berbagai spesies binatang yang berbeda-beda, serta sifat-sifat umum dan sifat-sifat khusus dari masing-masing spesies.
·         Psikologi yang membahas daya-daya tumbuhan, hewan dan manusia.
·         Kedokteran yang berbicara tentang manusia dari sudut sehat atau sakitnya.
Integrasi Sumber Ilmu
Dalam sistem integrasi ilmu, kita tidak hanya mengakui indera sebagai satu-satunya sumber pengetahuan, namun juga mengakui akal dan hati sebagai sumber pengetahuan yang jauh lebih penting.
Karena sebenarnya indera, akal, dan hati berada dalam satu jiwa, yaitu jiwa manusia. Maka keberadaan ketiga sumber keilmuan ini tidak bisa dipisahkan satu sama lain, meskipun kita bisa membedakannya berdasarkan fungsi dan manfaatnya.
 
 
 
BAB X
KLASIFIKASI ILMU MENURUT AL-GHAZALI DAN AL-FARABI
A. Klasifikasi Menurut Al-Ghazali
1)      Klasifikasi Ilmu
Imam Al-Ghazali nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad Ibnu Muhammad Al-Ghazali, yang terkenal dengan hujjatul Islam (argumentator islam). Dalam hal ilmu, Al-Ghazali mengklasifikasikan ilmu namun pengklasifikasian ilmu menurut al-Ghazali bukan berarti memberikan pandangan dikotomik, tetapi memberikan isyarat bahwa aneka ragam ilmu pengetahuan itu adalah satu rangkaian keilmuan dan satu kesatuan konsep yaitu ilmu dalam pengertian islam.
Sedangkan klasifikasi ilmu menurut Al-Ghazali merupakan pembidangan ilmu itu sejauh mana penuntutnya mampu mengembangkannya, sebab setiap pribadi memiliki tingkat intelegensi yang berbeda-beda dan bakat yang berlainan menurut Fathiyyah Hasan Sulaiman al-Ghazali menyetujui pendapat tokoh-tokoh pendidikan modern yang mengatakan adanya perbedaan bakat diantara individu. Begitu pula sebagai pragmatic sufistik al-Ghazali dalam pembidangan ilmu itu tetap mempertimbangkan segi kemudharatan dan kemanfaatan ilmu itu yang merupakan kewajiban bagi manusia untuk memilihnya
Atas dasar itulah al-Ghazali mengklasifikasikan ilmu dalam dua golongan yaitu.
1. ilmu Syar’iyyah dan
2. Ilmu Ghoiru Syar’iyyah
Adapun yang dimaksud dengan syar’iyyah ialah apa yang diambil faedah dari para Nabi dan tidak dapat ditunjukkan oleh akal seperti ilmu hitung, tidak dapat dengan pengamalan seperti kedokteran dan tidak pula oleh pendengaran seperti bahasa. Sedangkan ilmu ghoiru syar’iyyah terbagi kepada apa yang terpuji, apa yang tercela dan apa yang dibolehkan. Unsur sufistik dan pragmatic al-Ghazali sangat jelas pada klasifikasi di atas karena ilmu syar’iyyah merupakan ilmu yang tidak diragukan lagi dampaknya bagi penuntutnya. Ilmu ghairu syar’iyyah termasuk ilmu yang diserahkan pencapaiannya terhadap manusia melalui kemampuan penangkapan panca indranya, penalaran akalnya dan penghayatan hatinya, ilmu ini berbeda dari ilmu syar’iyyah yang sudah jelas kebenarannya oleh karena itu al-ghazai membagi lagi kedalam ilmu terpuji, ilmu tercela dan ilmu bagi manusia untuk menuntutnya.
Menurut al-ghazali ilmu yang tepuji ialah setiap ilmu yang tidak bias diabaikan dalam menegakkan urusan dunia semisal ilmu kedokteran, ilmu hitung, pertemuan-pertemuan, politik dll. Ilmu ghoiru syar’iyyah yang tercela ialah seperti ilmu sihir, ilmu sulap dll. Sedangkan ilmu yang mubah seperti ilmu tentang syi’ir-syi’ir, cerita dan dongeng.
Secara psikologis klasifikasi ilmu versi al-ghazali memberikan kesan bahwa dalam menetapkan pembagian ilmu ini ia mempertimbangkan aspek-aspek psikis manusia bahwa manusia memiliki tingkat kemampuan kejiwaan yang beraneka ragamnya, dimana tergantung kepada kemammpuan akal dan panca indranya. Atas pertimbangan itu secara mendasar beliau telah mengklasifikasikan ilmu muamalah (ilmu praktis) dibaginya menjadi ilmu Syar’iyyah yangb merupakan ilmu yang manusia itu sadari secara psikologis, tidak mampu memahaminya secara utuh karena dibidang ini terkumpul segi-segi kewajiban melaksanakan agama dan Ilmu Ghoiru Syar’iyyah yang dipahami oleh manusia melalui daya akal dan panca indranya agar manusia mengetahui dimana kawasannya dan dimana wilayah pemahaman agama.
2)      Konsep Ilmu
Konsep ilmu menurut al-ghazali mampu duduk sebagai rujukan ilmiah dalam bermacam-macam disiplin, Karena jelas al-ghazali telah memberikan satu wawasan keterhubungan kerja antara manusia dan Allah. Jika dikategorikan konsep llmu versi al-ghazali kedalam epistimologi filsafat fenomenologi islam, maka ada empat kebenaran indrawi, kebenaran akal, kebenaran etik dan kebenaran transenden. Keempat kebenaran itu secara terpisah telah dikembangkan aliran-aliran dalam ilmu jiwa. Secara psikologis konsep ilmu versi al-ghazali lebih komplit sebab al-ghazali meyakini bahwa kebenaran itu secara menyeluruh berkembang dalam diri manusia dan menentukan sejauh mana manusia itu berkembang.
Secara pedagogic kajian al-ghazali tentang ilmu menunjukkan suatu pola yang komprehensif sebab al-ghazali telah memasukkan seluruh bidang kajian ilmu dalam pemahamannya serta asal-usul dan sumbernya seperti dikemukaakan diatas bahwa ada ilmu yang bersumber dari Allah (kebenaran transcendent) dan ada ilmu yang bersumber pada manusia (bias berwujud kebenaran/pengalaman indrawi/sensual, akal dan etik). Setiap kebenaran /pengalaman itu dalam pendidikan mutakhir dikembangkan secara terpisah. Aliran progresivisme misalnya mengakui adanya kemampuan manusia yang perlu ditingkatkan sedang aliran essensialisme menekankan akan pentingnya nilai-nilai terutama nilai kebudayaan, bahkan menurut Ronals C. Doll termasuk juga nilai ajaran agama.
Memahami kedua aliran tersebut jelas sekali konsep ilmu al-ghazali merupakan rentangan kedua aliran itu, memadukan antara bakat manusia dan nilai-nilai terutama nilai-nilai agama yang bersumber langsung dari Allah.

B.     KLASIFIKASI ILMU MENURUT IBNU AL- FARABY
1)      Klasifikasi Ilmu
Ia adalah Abu Nashr Muhammad bin Muhammad Bin Tharkhan, sebutan “al-Farabi” diambil dari nama kota “Farab”, tempat ia dilahirkan. Sejak kecil ia suka belajar dan ia mempunyai kecakapan luar biasa dalam bidang bahasa.
Dalam hal ilmu, Al- Farabi telah memberikan klasifikasi tentang ilmu dalam tujuh bagian, yaitu: percakapan, logika, matematika, fisika, metafisika, politik dan ilmu fiqh. Ketujuh ilmu itu telah melingkupi seluruh kebudayaan Islam pada masa itu. Menurut Al-Farabi, dia telah menyusun klasifikasi di bawah dengan sub-subdivisi (sub-sub bagian).
1.   Pertama, klasifikasi itu dimaksudkan sebagai petunjuk umum ke arah berbagai ilmu.
2.   Kedua, klasifikasi tersebut memungkinkan seseorang belajar tentang hierarki ilmu.
3.   Ketiga, berbagai bagian dan sub bagiannya memberikan sarana yang bermanfaat dalam menentukan sejauh mana spesialisasi dapat ditentukan secara sah. Dan
4.   Keempat, klasifikasi itu menginformasikan kepada para pengkaji tentang apa yang seharusnya dipelajari sebelum seseorang dapat mengklaim diri ahli dalam suatu ilmu tertentu.
Ilmu-ilmu yang secara jelas ditonjolkan dalam klasifikasinya adalah ilmu-ilmu yang berkaitan dengan tradisi filosofis pra-Islam. Dalam Ihsha’al-ulum Al-Farabi mengemukakan klasifikasi ilmu sebagai berikut:
·            Ilmu bahasa (ilmu Al-lisan),
·            Logika (ilm al-mantiq),
·            Ilmu-ilmu matematis atau propaedetik (ulum al-ta’alim)
·            Fisika atau ilmu kealaman (al-ilm al-thabi’i),
·            Metafisika (al-ilm al-ilahi)
·            Ilmu politik (al-ilm al-madani),
·            Yurisprudensi (ilm al-fiqh) danTeologi Dialektis (ilm al-kalam).
Seperti apa yang ditulis di atas, bahwa al-Farabi mengawali klasifikasinya dengan ilmu bahasa. Dia membedakan dua fungsi mendasar ilmu ini, yang pertama adalah fungsi memelihara lafal-lafal bermakna (al-alfadz al-dallah) yang sederhana ataupun yang tersusun. Fungsi kedua ilmu bahasa adalah untuk merumuskan kaidah atau konvensi yang mengatur lafal-lafal bermakna. Setiap seni, apakah yang teoritis ataukah yang praktis, dicirikan oleh seperangkat kaidah yang dimaksud al-Farabi dengan “kaidah” adalah suatu pernyataan universal mencakup banyak hal individual yang termasuk dalam seni yang bersangkutan.
Dan mengenai logika, dalam klasifikasi al-Farabi, logika bukan bagian dari sebuah ilmu filosofis, tapi logika merupakan akal atau instrumen ilmu-ilmu filosofis. Tetapi logika juga merupakan suatu ilmu (ilm). Al-farabi tampaknya berpendapat bahwa logika sebagai ilmu berada di antara ilmu bahasa dan ilmu-ilmu filosofis.
Al-Farabi menyatakan bahwa logika dan ilmu kebahasaan adalah dua ilmu yang saling terkait erat. Dia menganggap logika sebagai sejenis tata bahasa universal yang keabsahannya menyebar luas ke seluruh ras manusia. Dia memberi dua alasan untuk pandangan ini. Pertama, logika berkenaan dengan pikiran atau ucapan dalam hati, yang dimiliki oleh semua manusia. Kedua, logika hanya berniat pada lafal yang umum terdapat pada setiap bahasa segenap komunitas.

BAB XII
NATURALISASI ILMU dan SEKULARISASI ILMU

1. Sekularisasi Ilmu
A.    Pengertian SekularisasiI
Istilah sekularisasi berakar dari kata “sekuler” yang berasal dari bahasa latin ”Seaculum” artinya abad (age, century), yang mengandung arti bersifat dunia, atau berkenaan dengan kehidupan dunia sekarang.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, sekularisasi diartikan segala hal-hal yang membawa kea rah kehidupan yang tak didasarkan pada ajaran agama. Dari berbagai pengertian di atas menunjukkan bahwa makna sekularisasi ilmu pengetahuan adalah suatu proses pelepasan/pembebasan ilmu dari setiap pengaruh agama sebagai landasan berpikir.
B.     Latar Belakang Lahirnya Sekularisasi
Sekularisasi berasal dari dunia Barat kristiani, yang muncul dengan diserukan oleh para pemikir bebas agar mereka tetrlepas dari ikatan gereja, para pemuka agama dan pendetanya. Pada awalnya, agama kristiani lahir di dunia Timur, namun warna kristiani amat tebal menyelimuti kehidupan dunia Barat. Keadaan ini sejak kekaisaran Romawi Konstantin yang agung (280-337) yang melegalisasikan dalam wilayah imperiumnya serta mendorong penyebarannya merata ke benua Eropa, terutama di abad pertengahan warna kristiani menyelimuti kehidupan Barat baik politik, ekonomi, sosial, budaya, serta ilmu pengetahuan.
C.    Sekularisasi Ilmu Pengetahuan
Secara makna sekularisme memiliki pandangan akan kehidupan yang memisahkan antara dunia dan akhirat, agama dan negara, akal dan wahyu, materi dan immateri, rasional dan irrasional.
Sekularisme berkembang dari aliran filsafat Yunani yang diawali oleh pemikiran salah satu filsuf Yunani, Aristoteles. Sekularisme juga dapat dilihat dari berkembangnya aliran pemikiran rasionalisme yang menafikan sesuatu yang diluar pemahaman akal. Dalam pandangan rasionalisme, segala sesuatu yang di luar pemahaman akal manusia dinyatakan bukan sebagai suatu realitas dandiyakini keadaannya. Pandangan ini menilai sesuatu yang nyata adalah segala sesuatu yang dapat dicerna melalui indera manusia yaitu dapat dilihat, didengar, diraba, dibaui, dan dirasakan.
D.    Pokok-Pokok Ajaran Sekularisasi Ilmu Pengetahuan
a)      Prinsip-prinsip esensial dalam mencari kemajuan denngan alat material semata-mata.
b)      Etika dan moralitas didasarkan pada kebenaran ilmiah tanpa ada ikatan dan metafisika, segalanya ditentukan oleh kriteria ilmiah yang dapat dipercaya dan yang bersifat validitas.
c)      Masih mengakui agama pada batas tertentu dengan ketentuan agama tidak boleh mengatur urusan dunia melainkan hanya mengatur tentang akhirat belaka.
d)     Menekan perlunya toleransi semua golongan masyarakat tanpa mengenal perbedaan agama.
e)      Menjunjung tinggi penggunaan rasio dan kecerdasan.
E.     Sekularisasi Ilmu Pengetahuan Ditinjau dari Epistemologis
Secara formal epistemologis sekularisasi ilmu pengetahuan berbentuk rasionalisme dan empirisme. Dimana memandang ilmu pengetahuan berdasarkan pengamatan empiris dan menalaah secara rasio bukan keyakinan ”iman” sebagai penilai.
2.      Naturalisasi Ilmu
A.    Pengertian Naturalisasi Ilmu
            Istilah naturalisasi ilmu digunakan oleh Prof. Sabra untuk menyatakan proses akulturasi dari suatu ilmu yang datang dari luar terhadap budaya yang berlaku di Negara itu sendiri. Menurut Sabra, ada tiga tahap naturalisasi ilmu Yunani ke dalam dunia Islam, yaitu (1) Justifikasi, yaitu upaya filsuf untuk membenarkan pengadopsian filsafat Yunani (2) adaptasi, yaitu sikap selektif dalam mengadaptasi ilmu Yunani agar tidak berbenturan dengan nilai dan ideologi islam, dan (3) kritik, yaitu sikap kritis filsuf muslim terhadap ajaran filsafat Yunani.
B.     Fase/Tahap Sehingga Ditemukan Ilmu Pengetahuan
1.      Fase naturalisasi
2.      Sekularisasi ilmu pengetahuan
3.      Islamisasi ilmu
BAB XIII
INTEGRASI ILMU dan ISLAMISASI ILMU

A.    Dikotomi Ilmu Pengetahuan
Dikotomi adalah pembagian dua bagian, pembelahan dua, bercabang dua bagian. Ada juga yang mendefinisikan dikotomi sebagai pembagian di dua kelompok yang saling bertentangan. Secara terminologis, dikotomi dipahami sebagai pemisahan antara ilmu dan agama yang kemudian berkembang menjadi fenomena dikotomik-dikotomik lainnya, seperti dikotomi ulama dan intelektual.
Pada saat ini, dikotomi telah menimbulkan berbagai problem yang akut dalam sistem pendidikan kita. Di sekolah-sekolah umum, seperti fisika, matematika, biologi, sosiologi dan lain-lain. Dan ilmu-ilmu agama, seperti tafsir, hadits, akidah akhlak, fikih, seakan-akan muatan religius itu hanya ada pada mata pelajaran agama, sedangkan ilmu-ilmu umum semuanya adalah profan dan netral dilihat dari sudut pandang religi. Maka dari itu, para pemikir muslim mulai menggagas konsep integrasi keilmuan islam, yang mencoba membangun suatu keterpasuan kerangka keilmuan islam, dan berusaha menghilangkan dikotomi ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu non agama.
Implikasi lain dari dikotomi keilmuan terhadap kerangka filsafat keilmuan islam adalah berkembangnya pemikiran yang mempertentangkan secara diametral antara rasio dan wahyu serta antara ayat-ayat qauliyah dengan ayat-ayat kauniyah.


B.     Paradigma Islamisasi Ilmu dan Ilmu-Ilmu Umum
  1. Islamisasi Ilmu
Farid al-Attas membahasakan islaimisasi ilmu pengetahuan adalah suatu ilmu yang merujuk pada upaya mengelimir unsur-unsur atau konsep-konsep pokok yang membentuk peradaban dan kebudayaan Barat, khususnya dalam ilmu-ilmu sosial, yang termasuk dalam unsur-unsur atau konsep humanisme, drama serta strategi dalam kehidupan rohani yang menyebabkan ilmu yang sepenuhnya benar menurut ajaran Islam tersebar ke seluruh dunia, setelah melewati proses di atas ke dalam ilmu tersebut dinamakanlah unsur-unsur dan konsep-konsep pokok keislaman.
Menurut al-Attas, islamisasi ialah pembebasan manusia, mulai dari magic, mitos, animisme dan tradisi kebudayaan kebangsaan, dan kemudian dari penguasaan sekuleratas akal dan bahasanya.
Ilmu-ilmu yang dalam bahasa al-Ghazali disebut dengan al-ulum al-syari’ah merupakan ilmu-ilmu yang diperoleh dari nabi-nabi dan tidak hadir melalui akal. Sedangkan ilmu-ilmu umum (al-ulum al-aqliyah) adalah berbagai ilmu yang dicapai atau diperoleh melalui intelek manusia semata.
  1. Ilmu-Ilmu Sekuler
sekuler diartikan dengan bersifat duniawi atau kebendaan, bukan bersifat keagamaan atau kerohanian sehingga sekularisasi berarti membawa ke arah kecintaan kehidupan dunia, oleh karena itu norma-normanya tidak perlu didasarkan pada agama.
Menurut Raghib al-Isfahani, ilmu adalah mengenali sesuatu sesuai dengan hakikatnya (apa adanya atau objektif). Ilmu ini terbagi dalam dua jenis. Pertama, mengenali inti sesuatu dan kedua, memahami hukum sesuatu, baik hukum yang terdapat di dalamnya atau di luar itu. Tetapi ada juga ulama yang mempunyai cara pembagian berbeda, yaitu pertama, ilmu yang bersifat analisis. Kedua, ilmu yang bersifat praktis. Pada sisi lain ada yang membaginya menjadi ilmu naqli dan aqli.
C.    Hakikat Integrasi Ilmu
Kata kunci konsepsi integrasi keilmuan berangkat dari premis bahwa semua pengetahuan yang benar berasal dari Allah. Dengan pengertian yang hampir sama Usman Hassan menggunakan istilah knowledge is the light that comes from Allah.
Bagi al-Faruqi, mengaui Ketuhanan Tuhan dan keesaan berarti mengakui kebenaran dan kesatupaduan. Ini sekaligus menjadi bukti bahwa integrasi keilmuan memiliki kesesuaian dengan prinsip al-tauhid.
D.    Basis Integrasi Ilmu-Ilmu Agama dan Umum
Ilmuwan-ilmuwan muslim akan percaya sepenuhnya bahwa sumber dari segala ilmu adalah Allah. Karena tujuan dari ilmu adalah untuk mengetahui kebenaran sejati tentu merupakan sumber bagi segala kebenaran-kebenaran lainnya, termasuk kebenaran atau realitas-realitas ilmu. Al-qur’an mengatakan “kebenaran itu berasal dari Allah, maka janganlah engkau pernah meragukannya”. Dengan demikian para ilmuwan muslim sepakat bahwa sumber ilmu adalah Allah sendiri, sang Kebenaran.
E.     Integrasi Ilmu Pengetahuan Keislaman dengan Umum
Setelah umat islam mengalami kemunduran sekitar abad XIII-XIX, justru pihak Barat memanfaatkan kesempatan tersebut untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang telah dipelajarinya dari Islam sehingga ia mencapai masa renaisance. Ilmu pengetahuan umum (sains) berkembang pesat, sedangkan pengetahuan Islam mengalami kemunduran, yang ada pada akhirnya muncullah dikotomi antara dua bidang ilmu tersebut.
Muncul pula sekularisasi ilmu pengetahuan. Namun, sekularisasi ilmu mendapat tantangan dari kaum Gereja. Galileo (L. 1564 M) yang dipandang sebagai pahlawan sekularisasi ilmu pengetahuanmendapat hukuman mati tahun 1633 M, karena mengeluarkan pendapat yang bertentangan dengan pandangan Gereja.
Pemberian hukuman kepada para ilmuwan yang berani berbeda pandangan dengan kaum Gereja menjadi pemicu lahirnya ilmu pengetahuan yang memisahkan diri dari doktrin agama. Sekularisasi ilmu pengetahuan secara ontologis membuang segala bersifat religius dan mistis, karena dianggap tidak relevan dengan ilmu.
Sekularisasi ilmu pengetahuan dari segi metodologis menggunakan epistemologis rasioalisme dan empirisme. Sedangkan sekularisasi ilmu pengetahuan pada aspek aksiologi bahwa ilmu itu bebas nilai atau netral, nilai-nilai ilmu hanya diberikan oleh manusia pemakainya. Memasukkan nilai ke dalam ilmu, menurut kaum sekuler menyebabkan ilmu itu memihak dan dengan menghilangkan objektivitasnya.
Kondisi inilah yang memotivasi para cendikiawan muslim berusaha keras dalam mengintegrasikan kembali ilmu dan agama. Upaya yang pertama kali diusulkan adalah islamisasi ilmu pengetahuan.
Masalah yang muncul kemudian adalah apakah integrasi/islamisasi ilmu pengetahuan keislaman, dengan ilmu-ilmu umum mungkin dilakukan dengan tetap tegak di atas prinsip-prinsip tanpa mengacu pada pendekatan teologi normatif.
Azyumardi Azra mengemukakan ada tiga tipologi respon cendikiawan muslim berkaitan dengan hubungan antara keilmuwan agama dengan keilmuan umum. Pertama, Restorasionis, yang mengatakan bahwa ilmu yang bermanfaat dan dibutuhkan adalah praktek agama (ibadah). Kedua, Rekonstruksionis, interpretasi agama untuk memperbaiki hubungan peradaban modern dengan islam. Ketiga, Reintegrasi, merupakan rekonstruksi ilmu-ilmu yang berasal dari al-ayat al-qur’aniyah dan yang berasal dari al-ayat al-kauniyah berarti kembali kepada kesatuan transendental semua ilmu pengetahuan.
Kuntowijoyo menyatakan bahwa inti dari integrasi adalah upaya menyatukan (bukan sekedar menggabungkan) wahyu Tuhan dan temuan pikiran manusia (ilmu-ilmu integralistik), tidak mengucilkan Tuhan (sekularisme) atau mengucilkan manusia. Model integrasi adalah menjadikan al-qur’an dan sunnah sebagai grand theory pengetahuan. Sehingga ayat-ayat qauliyah dan kauniyah dapat dipakai.