Jumat, 25 November 2011

Metode Istinbath Imam Syafi'I

BAB I
PENDAHULUAN

Diantara pembahasan-pembahasan ilmiyah yang harus kita pelajari dengan seksama, dan bahas dengan tekun ialah pokok pokok pegangan para imam madzhab dan manhaj (metode) istimbath yang digunakan para mujtahid dalam mengungkapkan hukum syara'. Dengan mendalami manhaj istimbat yang telah dilakukan para imam madzhab baik dalam kalangan ahlus sunnah maupun dalam kalangan syi'ah, nyatalah bahwa semua mujtahid pada dasarnya menggali hukum syara' dari sumber utama, yaitu kitabullah dan sunnah Rosul. Mereka hanya berbeda pandangan dalam cara menggali dan dalam mempergunakan alat penggalian serta dalam menentukan dasar- dasar yang boleh dan tidak boleh dipakai setelah al Qur'an dan as Sunnah. Dengan kita mendalami analisa analisa terhadap sebab sebab terjadi perbedaan pendapat diantara para imam, dapatlah kita mendekatkan pokok pokok pegangan itu hingga dengan demikian terbentanglah jalan mendekatkan satu madzhab dengan madzhab lain dan dapatlah kita menutup lubang-lubang yang merenggangkan satu sama lain.
Pemikiran fiqh mazhab diawali oleh Imam asy-Syafi'i. Keunggulan Imam asy-Syafi'i sebagai ulama fiqh, usul fiqh, dan hadits di zamannya diakui sendiri oleh ulama sezamannya. Sebagai orang yang hidup di zaman meruncingnya pertentangan antara aliran Ahlulhadits dan Ahlurra 'yi, Imam asy-Syafi 'i berupaya untuk mendekatkan pandangan kedua aliran ini. Karenanya, ia belajar kepada Imam Malik sebagai tokoh Ahlulhadits dan Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani sebagai tokoh Ahlurra'yi.[1]











BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Singkat Imam Syafi'i
Beliau adalah Muhammad bin Idris bis Abbas bin Usman bin Syafi’I, beliau lahir di Ghaza, salah satu kota di daerah Palestina pada tahun 150 H (767 M) dan wafat di Mesir tahun 204 H (822 M). Ayah beliau meninggal ketika beliau masih kecil dan dalam keadaan demikian beliau dibawa kembali oleh ibunya ke Makkah dan menetap di sana.[2]
Ahmad Tamam di dalam bukunya asy-Syaafi'iy: Malaamih Wa Aatsaar menyebutkan bagaimana kemunculan sosok asy-Syafi'i dan manhaj fiqihnya. Sebuah manhaj yang merupakan paduan antara fiqih Ahli Hijaz dan fiqih Ahli Iraq, manhaj yang dimatangkan oleh akal yang menyala, kemumpunian dalam al-Qur'an dan as-Sunnah, kejelian dalam linguistik Arab dan sastra-sastranya, kepakaran dalam mengetahui kondisi manusia dan permasalahan-permasalahan mereka serta kekuatan pendapat dan qiyasnya.
Imam Syafi'I merupakan seorang figur penting dalam sejarah peradapan Islam, khususnya pemikiran Arab. Fiqih Imam Syafi'i berpusat pada lima sumber sebagaimana yang tertulis dalam kitabnya Al Um', Pertama, al Qur'an dan Sunnah. Kedua, Ijma', jika tidak ditemukan dalam Al Qur'an dan Sunnah. Ketiga, Perkataan sebagian para shahabat dan tidak kita ketahui ada yang berbeda dari mereka. Keempat, Ikhtilaf para shahabat dan Kelima, Qiyas, dan tidak ada sumber lain selain al Qur'an dan Sunnah dalam segala sesuatu dan sesungguhnya ilmu itu diambil dari yang paling atas. Hirarki sumber hukum tersebut menunjukkan urutan prioritas, artinya bahwa yang muncul belakangan senantiasa bersandar kepada sumber yang mendahuluinya. Tingkatan pertama adalah nas nas, yaitu al Qur'an dan sunnah dan selain keduanya merupakan sumber turunan dari al Qur'an dan sunnah, termasuk ijma' yang tidak mungkin keluar dari keduanya.
B. Metode Istinbath Imam Syafi’i
1.      Al Qur'an dan Sunnah
Para ulama' setelah Syafi'i menyebutkan al Kitab sebagai sumber hukum Islam pertama dan sunnah sebagai sumber kedua setelah al kitab, begitu juga sebelum Imam Syafi'i, seperti Imam Abu Hanifah yang menyetujui bahwa dalam pengambilan hukum pertama harus dari al kitab, kemudian kalau tidak diperoleh, baru mengambil dari sunnah. Sama halnya juga dengan Mu'az bin Jabal ketika ditanya oleh nabi: "Dengan apa kamu memutuskan sesuatu?", kemudian jawabnya: "Saya memutuskan sesuatu dengan Kitab Allah. Jika tidak didapati di dalamnya maka dengan sunnah rosulullah, dan jika tidak didapatkan lagi maka saya berijtihad dengan akal.
Syafi'i meletakkan sunnah sejajar dengan al Qur'an dalam hal sebagai hujjah karena sunnah juga berasal dari wahyu. Syafi'i tidak menyamakan al Qur'an dan sunnah dalam segala aspek, menurutnya perbedaannya paling tidak bahwa al Qur'an mutawatir dan merupakan ibadah bagi yang membacanya sedangkan kebanyakan sunnah tidak mutawatir juga membacanya tidak dinilai pahala. Kedua, al Qur'an adalah kalam Allah, sedangkan sunnah adalah perkataan nabi SAW. Syafi'i juga menjelaskan bahwa sunnah tidak semartabat dengan al Qur'an dalam masalah aqidah.
Dalam pelaksanaanya, Imam Syafi’imenempuh cara, bahwa apabila di dalam Al Qur’an sudah tidak ditemukan dalil yang dicari, ia menggunakan hadist mutawatir. Jika tidak ditemukan dalam hadist mutawatir, ia menggunakan khabar ahad. Jika tidak ditemukan dalil yang dicari dengan kesemuanya itu, maka dicoba untuk menetapkan hukum berdasarkan zhahir Al Qur’an atau sunnah secara berturut. Dengan teliti ia mencoba untuk menemukan mukhashshish dari Al Qur’an dan Sunnah. Selanjutnya menurut Sayyid Muhammad Musa dalam kitabnya al-Ijtihad, Imam Syafi’I jika tidak menemukan dalil dari zhahir nash Al Qur’an dan Sunnah serta tidak ditemukan mukhashshishnya, maka ia mencari apa yang dilakukan Nabi atau Keputusan Nabi. Kalau tidak ditemukan juga , maka dia cari lagi bagaimana pendapat para ulama sahabat. Jika ditemukan ada ijma dari mereka tentang hukum masalah yang dihadapi, maka hukum itulah yang ia pakai.[3]
a.       Al Qur'an
Syafi'i tidak memberikan batasan definitif bagi al Qur'an, berdasarkan berbagai uraiannya, para pengikutnyalah yang memberikan definisi terhadap al Qur'an. Misalnya definisi yang diungkapkan Taj Al Din Al Subki, bahwa al Qur'an adalah lafadz yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW sebagai mu'jizat dan membacanya merupakan ibadah.
Menurut Syafi'i al Qur'an itu maknan dan lafdzon. Seluruh al Qur'an terdiri atas bahasa Arab, tidak satu katapun di dalamnya yang bukan bahasa Arab. Maka sejalan dengan itu ia mengatakan bahwa setiap umat Islam diharuskan mempelajari bahasa Arab sedapat mungkin (Mabalagahu juhduh) sehingga ia dapat mengucapkan syahadat, membaca al Qur'an, dan mengucapkan dzikir. Tuntutan itu merupakan fardhu ain yang berlaku secara umum, sedangkan penguasaan bahasa Arab secara mendalam diwajibkan secara terbatas (fardhu kifayah) atas para ulama'. Syafi'i menekankan pentingnya penguasaan bahasa Arab karena tidak mungkin bisa memahami kandungan al Qur'an tanpa penguasaan terhadap bahasa Arab.
b.      Sunnah
Syafi'i menegaskan bahwa sunnah merupakan hujjah yang wajib diikuti sama halnya dengan al Qur'an. Untuk mendukungnya dia mengajukan beberapa dalil, baik dalil naqli maupun dalil aqli. Sejalan dengan pandangan tentang kokohnya kedudukan sunnah, Syafi'i menegaskan bila telah ada hadits yang shohih (tsabit) dari Rosulullah SAW, maka dalil dalil berupa perkataan orang lain tidak diperlukan lagi. Jadi bila seseorang telah menemukan hadits shohih, ia tidak lagi mempunyai pilihan kecuali menerima dan dan mengikutinya. Syafi'i mengatakan "Tidak benar, kalau sesuatu (dalam hal ini dunnah) suatu saat dianggap sebagai hujjah tetapi pada kali lainnya tidak".
Tentang hubungan antara sunnah dengan al Qur'an, Syafi'i mengemukakan bahwa fungsi sunnah sebagai berikut:
a) Sebagai penguat dalil dalil dalam al Qur'an
b) Sebagai penjelas dari ayat ayat al Qur'an yang masih global
c) Sebagai tambahan; artinya mengatur hukum yang belum diatur dalam al Qur'an
Syarat syarat penerimaan sunnah :
Syafi'i membagi hadits menjadi dua, yaitu kabar ammah (hadits mutawatir) dan kabar khashah (hadits ahad). Ia memandang hadits mutawatir itu pasti, sehingga hadits tersebut mutlak harus diterima sebagai dalil. Akan tetapi hadits ahad hanya wajib diamalkan apabila hadits tersebut shohih. Pada pokoknya, persyaratan yang ditetapkan oleh Syafi'i agar suatu hadits dapat diamalkan sama dengan yang dikemukakan oleh para ahli hadits dan ahli ushul fiqh pada masa kemudian, yakni menyangkut tsiqoh (adalah dan dhobith) yang harus terpenuhi pada setiap perawi dan kesinambungan sanad yang diriwayatkannya serta tidak adanya cacat atau kelainan dalam hadits tersebut.[4]
2.      Ijma'
Ijma yang dipakai Imam Syafi’I sebagai dalil hukum itu adalah ijma yang disandarkan kepada nash atau ada landasan riwayat dari Rasulullah saw. Secara tegas ia mengatakan, bahwa ijma yang berstatus dalil hukum itu adalah ijma sahabat.
Imam Syafi’I hanya mengambil ijma sharih sebagai dalil hukum dan menolak ijma sukuti menjadi dalil hukum. Alasannya menerima ijma sharih, karena kesepakatan itu disandarkan kepada nash dan berasal dari semua mujtahid secara jelas dan tegas sehingga tidak mengandung keraguan. Sementara menolak ijma sukuti, karena tidak merupakan kesepakatan semua mujtahid. Diamnya sebagian mujtahid menurutnya belum tentu menunjukkan setuju.[5]
Syafi'i menyepakati bahwa ijma' merupakan hujjah agama (hujjatudin). Ijma' menurut Syafi'i adalah kesepakatan para ulama' pada suatu masa tentang hukum syara'. Kedudukan ijma' sebagai hujjah adalah setelah al Qur'an dan sunnah. Sehingga ijma' diakhirkan dari pada al Qur'an dan sunnah. Oleh karena itu, ijma' yang menyelisihi al Qur'an dan sunnah bukan merupakan hujjah dan dalam kenyataannya tidak mungkin ada ijma' yang menyelisihi al Qur'an dan sunnah.
3.      Qoul Shohaby
Qoul Shohaby ialah fatwa fatwa yang dikeluarkan oleh sahabat nabi SAW, menyangkut hukum masalah masalah yang tidak diatur di dalam nash, baik kitab maupun sunnah. Walaupun pada dasrnya para sahabat sama dengan umat Islam dari generasi lainnya, namun dalam banyak hal mereka mempunyai kelebihan tersendiri sehubungan dengan kebersamaannya dengan Rosulullah SAW. Mereka banyak mengetahui kondisi yang melatar belakangi turunnya (asbabun nuzul) ayat ayat tertentu. Selain itu, karena pergaulan mereka dengan Nabi SAW, maka kualitas akhlak mereka sangat tinggi, sehingga para ulama' sepakat mengakui bahwa pada dasarnya mereka semua bersifat adil. Walaupun pada dasarnya para sahabat sama dengan umat Islam dari generasi lainnya, namun dalam banyak hal mereka mempunyai kelebihan tersendiri sehubungan dengan kebersamaannya dengan Rosulullah SAW. Mereka banyak mengetahui kondisi yang melatar belakangi turunnya (asbabun nuzul) ayat ayat tertentu. Selain itu, karena pergaulan mereka dengan Nabi SAW, maka kualitas akhlak mereka sangat tinggi, sehingga para ulama' sepakat mengakui bahwa pada dasarnya mereka semua bersifat adil.
Pada sebagian kitab kitab ushul dari madzhab syafi'i menyatakan bahwa imam mereka (imam Syafi'i) mengambil qoul shahaby dalam madzhab lamanya, dan tidak menggunakannya dalam madzhab barunya. Tetapi dalam kitabnya "Risalah" bahwasannya imam Syafi'i mengambil qoul shohaby. Oleh karena itu telah jelas bahwa imam Syafi'i menggunakan qoul shohaby sebagai hujjah baik dalam madzhab lamanya maupun madzhab barunya. Imam Syafi'i membagi qoul shohaby menjadi tiga:
a) Pendapat yang memperoleh kesepakatan (ijma') di kalangan mereka. Ini jelas mengikat dan harus dijadikan hujjah.
b) Pendapat yang beragam dan tidak mencapai kesepakatan. Tentang ini, menurut Syafi'i harus dilakukan tarjih dengan mempedomani dalil dalil dari al Qur'an dan sunnah. Yang harus diambil ialah pendapat yang sesuai dengan kitab, sunnah, atau ijma'.
c) Pendapat yang dikeluarkan oleh seorang sahabat saja tanpa dukungan ataupun bantahan dari sahabat lainnya. Mengenai pendapat ini dalam kitabnya "Risalah", Syafi'i mengatakan bahwa ia mendapatkan dari ahli ilmu ada yang mengambilnya dan ada yang tidak mengambilnya. Ia mengambilnya jika tidak ditemukan dalam al Kitab, sunnah, maupun ijma'.
Penggunakan qoul shohaby sebagai hujjah oleh Syafi'i dapat dijumpai di beberapa kitabnya, seperti ketika berbicara peperangan melawan kaum musyrik, ia mengatakan bahwa orang yang bersembunyi di bawah biara tidak boleh dibunuh karena mengikuti perkataan Abu bakar. Ia mengatakan:" kami mengatakan ini hanyalah karena ittiba' (mengikuti pendapat Abu bakar), bukan berdasarkan qiyas.[6]
4.      Qiyas
Imam Syafi’I adalah mujtahid pertama yang membicarakan qiyas dengan patokan kaidahnya dan menjelaskan asas-asasnya. Sedangkan mujtahid sebelumnya sekalipun telah menggunakan qiyas dalam berijtihad, namun belum membuat rumusan patokan kaidah dan asas-asasnya, bahkan dalam praktik ijtihad secara umum belum mempunyai patokan yang jelas, sehingga sulit diketahui mana hasil ijtihad yang benar dan mana yang keliru. Di sinilah Imam Syafi’I tampil ke depan memilih metode qiyas serta memberikan kerangka teoritis dan metodologinya dalam bentuk kaidah rasional namun tetap praktis.
Sebagai dalil penggunaan qiyas, Imam Syafi’I mendasarkan pada firman Allah dalam Al Qur’an surah An Nisa’ ayat 59 :
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ͐öDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrŠãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# 4 y7Ï9ºsŒ ׎öyz ß`|¡ômr&ur ¸xƒÍrù's? ÇÎÒÈ  
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya
Imam Syafi’I menjelaskan, bahwa maksud “kembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya” itu ialah qiyaskanlah kepada salah satu, dari Al Qur’an atau Sunnah.[7]

Imam Syafi'i membuat kaedah kaedah yang harus dipegangi dalam menentukan mana ra'yu yang shahih dan yang tidak shahih. Ia membuat kriteria bagi istinbath-istinbath yang salah. Ia menentukan batas-batas qiyas, martabat-martabatnya, dan kekutan hukum yang ditetapkan dengan qiyas. Juga diterangkan syarat-syarat yang harus sempurna pada qiyas.
C. Istihsan
Dalam pembahasan tentang istihsan sebagai salah satu dalil mukhtalaf fih (yang tidak disepakati), nama Syafi'i selalu tampil dengan penolakannya yang tegas terhadap istihsan sebagai dalil hukum. Sikap itu dinyatakan dalam dalam sebuah kitabnya ibthal al Istihsan yang kemudian dimasukkan sebagai bagian dari kitab induknya, al Umm.
Dalam Muwafaqot, Syatiby mengutip pendapat Ibnu Aroby tentang istihsan, yaitu mengutamakan meninggalkan tuntutan suatu dalil, sebagai pengecualian dan demi kelonggaran berdasarkan adanya dalil lain yang cukup kuat menentang sebagian tuntutannya. Setelah itu ia memberikan keterangan ibnu Aroby selanjutnya:
Alasan alasan Imam Syafi'i menolak istihsan:
a)      Firman Allah SWT dalam surat al Qiyamah ayat 36:
Ü=|¡øtsr& ß`»|¡RM}$# br& x8uŽøIム´ß ÇÌÏÈ  
Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban)?


Mengambil Istihsan sebagai hujjah agama artinya tidak berhukum dengan nash. Makna "suda" pada ayat di atas ialah keaadaan tidak terikat oleh perintah dan larangan. Orang yang melakukan istihsan berarti dalam keadaan "suda", yaitu menetapkan hukum dengan menyalahi al Qur'an dan sunnah.
b) Melakukan istihsan berarti menentang ayat ayat al Qur'an yang memerintahkan agar mengikuti wahyu dan menetapkan hukum sesuai dengan kebenaran (al haq) yang diturunkan Allah dan mengikuti hawa nafsu.
c) Rosulullah mengingkari hukum yang diterapkan shohabat yang mendasarkan dengan istihsan, yaitu mereka membunuh laki laki yang melekat pada pohon.
d) Istihsan adalah menetapkan hukum berdasar maslahah. Jika maslahah itu sesuai dalam nash dibolehkan, tetapi maslahah yang dijadikan pedoman dalam istihsan adalan maslahah menurut para ulama'.
e) Rasulullah SAW ketika menghukumi persoalan yang belum ada dalam al Qur'an tidak menggunakan istihsan, melainkan menunggu turunnya wahyu.
Kalau kita lihat dari pengertian qiyas menurut Imam Malik dan Abu Hanifah, bahwa istihsan yang dimaksud dalam madzhab hanafi dan maliki tidaklah sama dengan istihsan yang ditentang oleh Imam Syafi'i. Tentu tidaklah benar kalau menuduh Imam Malik dan Abu Hanifah menetapkan hukum tanpa didukung oleh dalil yang sah menurut syara'. Sebagian literatur mengatakan bahwa Syafi'i sendiri pernah menggunakan istihsan dalam ijtihadnya dalam beberapa masalah seperti yang dilakukan Hanafi dan maliki. Misalnya pembatasan hak syuf'ah (hak beli pertama) selama 3 hari, pemotongan tangan kiri pencuri dan lain lain.[8]



BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN

Sumber hukum yang dipegangi Imam Syafi'i dalam menetapkan hukum adalah Al Qur'an, Sunnah, Ijma', Qoul Shohaby, dan Qiyas. Urutan tersebut bersifat hierarki, artinya sumber hukum yang ada di bawahnya tidak boleh bertentangan dengan yang di atasnya. Sementara mengenai istihsan yang digunakan oleh Imam Malik dan Abu Hanifah, dalam beberapa hal Imam Syafi'i juga menggunakannya. Dalam hal istihsan hanya terjadi perbedaan istilah saja. Ternyata ostihsan yang ditentang Syafi'i, bukan istihsan yang dipakai oleh Imam Abu Hanifah dan Imam Malik, melainkan penggunaan ro'yu yang liar dalam penetapan hukum.



DAFTAR PUSTAKA
Ibrahim, Muslim, Pengantar Fiqh Muqarran, Jakarta : Erlangga, 1991
Yanggo, Huzaemah Tahido, Pengantar Perbandingan Madzhab, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997
http://pesantren.uii.ac.id/content/view/34/52/1/3/


[1] http://pesantren.uii.ac.id/content/view/34/52/1/3/
[2] Muslim Ibrahim, Pengantar Fiqh Muqarran, (Jakarta : Erlangga, 1991) hal. 88
[3] Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Madzhab, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997), hal 128
[4] http://pesantren.uii.ac.id/content/view/34/52/1/3/

[5] Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Madzhab, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997), hal 130-131

[6] http://pesantren.uii.ac.id/content/view/34/52/1/3/
[7] Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Madzhab, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997), hal 131-132

[8] http://pesantren.uii.ac.id/content/view/34/52/1/3/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar